Sabtu, 14 Januari 2012 0 komentar

Tentang Lima Detik Tak Sadarkan Diri

Kicauan jangkrik seiring dengan hembusan angin,
dimana pada saat itu bulan tepat berada diantara awan dengan genteng rumah.
(Badan lesu bersandar dipojokan dinding sambil menatap langit-langit kamar)

Terkaget, mata kemudian terbelangga, entah kenapa,
mematung duduk beberapa menit, menatap kekosongan.
(Kemudian apa yang menjadi fatamorgana beralih kepada dunia maya)

Pertengahan kamis diawal Desember dijumlah dengan seperempat pagi diawal Januari sama dengan
hening, kosong, kemudian diam dan lalu tak berarti apa-apa.
(Pohon bergerak dalam diam dan cahaya matahari masih belum bekerja)

Terbangun akibat kicauan burung,
waktu tepat berada dipertengahan antara 6 dan 12.
(Terketuknya pintu kamar, sontak kaget, tersadar dari latihan kematian)

Bergegas merapihkan rambut, cuci muka,
lalu bermanis manja kepada kaca.
(Tetesan air berjatuhan sisa memolas wajah)

Ini bukan masalah sempit antara dua tangan yang saling bergandengan,
atau hal bodoh tentang bertemunya bibir saja.
(Untuk siang yang menyerupai pagi, kicauan burung apa indahnya?)


Bercerita air kepada angin tentang bagaimana ia menguap................. Mahluk kumuh tersadar lesu, diselimuti tembok kamar.............. Detik diam tak tahu harus bagaimana............................"Lalu turun menjadi air kembali, di hempas oleh kamu" ujar air menggoda...............Tak berguna menjadi hebat, jika yang kecil kita lupakan............. Bertanya detik kepada tembok.............."Hidupmu sungguh Indah" berkata angin kepada air............... Lalu semuanya terkesima haru...................

SELESAI
12 Januari 2012
 
oleh Azmil R. Noel Hakim pada 12 Januari 2012 pukul 11:55
0 komentar

Menjelma dan Menjadi Indonesia

“…Lekas bangun dari tidur berkepanjangan, menyatakan mimpimu. Cuci muka biar terlihat segar, merapihkan wajahmu. Masih ada cara menjadi besar. Memudakan tuamu, menjelma dan menjadi Indonesia” .  (Menjadi Indonesia – Efek Rumah Kaca)

Kalimat diatas adalah penggalan lirik dari salah satu lagu Band Indie Indonesia. Band tersebut ialah Efek Rumah Kaca. Band Indie asal Jakarta yang terdiri dari tiga pria muda. ERK (singkatan dari Efek Rumah Kaca) dalam berbagai majalah music sering dikatakan adalah band yang politis dan peduli akan lingkungan social, terlihat dari penggalan-penggalan lirik dari tiap lagunya yang sering kali menggangkat tema-tema social dan juga tak kadang mengkritik realita anak muda Indonesia juga dinamika permusikan di Indonesia. Kita ambil dua contoh lagu mereka, Cinta Melulu dan Kenakalan Remaja Di Era Informatika. Jika diperhatikan, kedua lagu tersebut kental sekali akan kritikan dan cibiran kepada anak muda Indonesia dan permusikan yang sedang marak di Indonesia. Tetapi tulisan ini bukan untuk membahas dan mencermati dua lagu tersebut, akan tetapi membahas lagu ERK yang berjudul Menjadi Indonesia yang penggalan liriknya terlampir di atas.

Dari penggalan lirik diatas, ERK menggunakan kalimat pengandaian yang seolah-seolah sedang berbicara kepada mahluk hidup. Padahal yang sedang mereka bicarakan adalah bukan kepada mahluk hidup tapi kepada lembaga yang sering disebut Negara yaitu Negara kita tercinta, Indonesia.  “…Lekas bangun dari tidur berkepanjangan…”  kalimat ini jelas sekali ditujukan kepada Indonesia yang telah lama tertidur dan pasif dalam berkarya dan sudah lama tidak menunjukan eksistensi Indonesia itu sendiri sebagai Negara yang katanya berdaulat. Dimana kita perhatikan kerja Indonesia hanya merusak, mengedahkan tangan kepada Negara lain, padahal kekayaan yang dimiliki Indonesia itu sendiri berlimpahnya bukan main. Dipertegas kembali dengan penggalan lirik selanjutnya “…Masih banyak cara menjadi besar…”  Terlihat Indonesia cenderung pendek pikiran, mungkin lirik tersebut ditujukan kepada Pemerintahan yang memang berpikiran pendek dan pesimis akan mencari jalan untuk bagaimana membuat Indonesia besar, padahal cara dan jalan untuk besar itu sendiri masih banyak. Sebagaimana ungkapan pribahasa klasik yang berbunyi “Masih banyak jalan menuju Roma”  seperti itu pulalah poin atau goal dari lirik Masih banyak cara menjadi besar…”  yang dimaksudkan ERK 

Dipertegas dengan kalimat akhir yang sangat menggetarkan “…Menjelma dan Menjadi INDONESIA.”. Menjelma, kata analogi yang berartikan kita dituntut menjadi diri sendiri, jangan meniru tingkah yang lain. Karna memang jelas terlihat, dalam pengambilan kebijakan atau apapun itu Indonesia cenderung berpatokan kepada Negara lain. Padahal, Negara yang menjadi contoh itu pun belum tentu baik walaupun memang secara keseluruhan mereka bisa dikatakan sukses. Tapi yang patut digarisbawahi adalah perbedaan budaya dan iklim social, ini yang seringkali tidak dipertimbangkan. Semisal kita ambil contoh, ketika di Jakarta misalnya, ketika akan mulai dilancarkan angkutan public Busway yang konsepnya kita contoh dari Negara Colombia di Amerika Latin sana. Mungkin dalam beberapa minggu atau beberapa hari dari awal kebijakan itu diluncurkan terlihat berhasil, tapi belakangan, amburadul, berantakan dan jauh dari targetan awal. Maksud dari ERK adalah ingin berbicara bahwa kita tidak perlu mencontoh atau meniru konsep-konsep kebijakan dari Negara lain, jika itu memang berhasil dilaksanakan oleh Negara itu, belum tentu akan serupa berhasil jika diterapkan di Negara kita. Kita mulai belajar membuat konsepan dan kebijakan sendiri. Jika kita lihat cacatan sejarah. Jalan Tol Jagorawi  Negara kita yang membentang dari Jakarta hingga Bandung adalah jalan TOL pertama yang dibuat di Asia Tenggara dan itu menjadi contoh bagi Negara-negara di Asia Tenggara lainnya, semisal Thailand, Filipina dan lainya. Jelas terbukti Indonesia bisa mandiri dan bisa berkreasi sendiri, tapi untuk dewasa ini, itu sudah tidak terlihat atau dalam bahasa ERK sedang tertidur yang berkepanjangan.

Kita lihat pula lirik pertama dari lagu Menjadi Indonesia, Ada yang memar, kagum banggaku, malu membelenggu…” kalimat tersebut bisa kita artikan bahwa ERK merasakan bahwa rakyat Indonesia malu dengan mengibaratkan memar sebagai kekecewaan dari tindakan pemerintah terhadap pembuatan kebijakan. Kalimat kagum banggaku semakin memperkuat apa yang menjadikan kagum, tapi kagum itu menjadi sebuah benalu yang membelenggu membuat malu. Mari kita simak kalimat setelahnya “…ada yang mekar, serupa benalu, tak mau temanimu”  benalu yang membelenggu tersebut menjadi mekar seolah dirawat dan tak mau menemani apa pun yang ingin memperbaiki keadaan.

Bukan hanya kinerja pemerintahan yang dikritik oleh ERK dalam lagunya, tapi etika moral rakyat Indonesia pun dicermati oleh mereka. Rakyat Indonesia yang terkenal akan budaya timur yang ramah tamah, memasuki masa globalisasi dengan membentuk budaya hedonis pada masyarakat yang bisa membuat etika timur menjadi luntur telah terjadi dan menjadi pemandangan sehari-hari di Negara kita. “…ada yang hilang, ramah tamahmu, beda teraniaya”. Menjadi beda karna tidak turut masuk dalam euphoria pasar global dengan mempertahankan ramah tamah akan dianiaya oleh lingkungan yang katanya modern itu. Seperti orang akan lebih memuja tingkat social seseorang yang berorientasi pada perkembangan teknologi dibanding seseorang yang mencintai budaya dan sastra. Tragis memang, pemandangan yang terjadi di Negara kita, mengingat Negara kita kaya akan budaya bukan teknologi. Tapi kepada orang yang melestarikan budaya itu sendiri  hanya mendapat cibiran dan menganiaya mereka yang melestarikan budaya. Tragis, sedih dan kesal campuraduk menjadi satu.

Dilanjutkan dengan lirik “…ada yang tumbuh, iri dengkimu, cinta pergi kemana?”  ERK ingin mempertanyakan sebuah kepergian rasa persatuan diantara rakyat Indonesia yang saling membunuh hanya untuk memperebutkan jabatan saja. Orientasi pragmatis telah beredar dan mengakar bukan hanya pada pemerintahan saja tapi sudah merambat ke kalangan para tenaga pendidik. Dimana guru atau tenaga pendidik hanya memikirkan sertifikasi dan tunjangan gaji dengan tidak memperdulikan anak didiknya. Jangan salahkan jika banyak dari rakyat Indonesia yang tidak bermoral dan kurang ajar. Tapi salahkan pola pendidikan yang sudah terjamah dan terseret arus pragmatisme.

Mungkin tulisan ini hanya sebagai kepanjangan-tangan dari apa yang ingin disampaikan teman-teman Efek Rumah Kaca dalam karya mereka yang berjudul Menjadi Indonesia. Bukan bermaksud mencaci atau menghakimi, hanya berpendapat sesuai realita yang sebelumnya telah direkam oleh teman-teman Efek Rumah Kaca dalam karya mereka. Semoga tetap bisa menjadi Indonesia dan menjelma menjadi Indonesia yang benar-benar hidup dengan hidup sehidup hidupnya. Semoga!!

Selesai.
09 Januari 2012


Efek Rumah Kaca – Menjadi Indonesia

Ada yang memar, kagum banggaku, malu membelenggu.
Ada yang mekar, serupa benalu, tak mau temanimu.

Lekas, bangun tidur berkepanjangan, menyatakan mimpimu,
cuci muka biar terlihat segar, merapikan wajahmu,
masih ada cara menjadi besar.

Ada yang runtuh, tamah ramahmu, beda teraniaya.
Ada yang tumbuh, iri dengkimu, cinta pergi kemana?

Memudakan tuamu, menjelma dan menjadi Indonesia.


 
oleh Azmil R. Noel Hakim pada 8 Januari 2012 pukul 22:42
0 komentar

Di Perempatan Jalan

Ada yang ingin disampaikan daun tentang apa yang disebut kekecewaan,
dengan diamnya pohon sebagai pertanyaan.
Ada yang ingin dituliskan langit tentang apa yang disebut kegembiraan,
dengan tetesan hujan sebagai paragraf pertama.
Butiran debu menjadi bedak untuk genteng-genteng rumah,
burung mengejawantahkannya sebagai permainan.
Gesekan antara jutaan anak angin dengan jutaan penderitaan anak jalanan
adalah alunan gitar terindah yang dicipta alam.
Jatuhnya tetesan keringat diatas aspal sama dengan kelucuan,
dengan tembok jalan sebagai komedinya.
Gelapnya langit ditutup jas hujan malaikat adalah sebuah sinetron,
dengan kelabu sebagai protagonis.
Nyanyian-nyanyian yang muncul dari pintu angkutan umum adalah sebuah harapan,
dengan rambut lusuh sebagai mimpinya.
Lamunan kecil di pinggir persimpangan jalan adalah sebuah panorama,
dengan lelahnya lampu merah sebagai keindahan.
Kumpulan receh yang ada di tangan mungil adalah sebuah kebahagiaan,
dengan wajah memelas sebagai kerja keras.
Tuhan turun kesana dalam beberapa menit,
dengan hembusan gerimis sebagai lambaianNya.
31 Desember 2011
oleh Azmil R. Noel Hakim pada 31 Desember 2011 pukul 22:27
0 komentar

Sebuah Dunia; Chitaloka

Diceritakan bahwa sebatang ranting dapat berbicara juga daun-daun di tempat itu. Kehidupan hanya diisi oleh dedaunan, bunga-bunga, awan, pepohonan, dan hewan-hewan kecil sejenis serangga saja, semisal jangkrik, kumbang dan saudara-saudara mereka lainnya. Tidak ada manusia, tidak ada iblis dan malaikat pun tidak ada. Dunia tersebut Tuhan ciptakan sebagai rasa kecewa Dia terhadap mahluknya yang sempurna yang bernama manusia.Tuhan sengaja tak memberitakan adanya dunia damai ini yang ditulis di surat-surat dalam kitab suci kepada manusia, takut-takut manusia merusak kedamaian dunia ini.

Dunia yang Tuhan beri nama Chitaloka. Tuhan sembarang memberi nama Dunia ini. Tak pentinglah sebuah nama, yang penting Dunia ini damai. Di dunia ini tempat Tuhan untuk tersenyum. Tuhan sengaja diam-diam tak memberitahu malaikat. Biarkan malaikat tetap memantau manusia yang picik. Di Dunia ini daun bisa leluasa menari, ranting bisa bernyanyi, tak takut untuk dipetik dan lalu patah. Di Dunia ini kumbang bisa setiap hari membagi kasih kepada bunga, kepada kupu-kupu. Itu sebenarnya yang Tuhan ingin lihat. Bukan pembunuhan, pembantaian, apalagi korupsi.

Ukuran Chitaloka tak begitu besar, hanya sebesar pergelangan jari manusia. Sengaja Tuhan buat kecil ukurannya, agar tidak diketahui oleh manusia, malaikat dan iblis. Yang manusia kenal sebagai senja adalah sebuah waktu dimana saatnya para serangga bekerja. Yang manusia kenal sebagai keindahan adalah pasir bagi mereka, karna terlalu banyaknya keindahan disana. Kejahatan adalah sebuah ketidaktahuan yang sengaja Tuhan tidak perkenalkan kepada mahluk-mahluk di Chitaloka. Tuhan juga sengaja hanya memberi nurani kepada mahluk-mahluk di Chitaloka, tidak memberi akal, takut-takut seperti manusia kelak.

Di Chitaloka tidak mengenal Republik, tidak mengenal Kerajaan, tidak mengenal Negara, Tuhan segaja, Dia ingin Dia sendiri yang langsung memimpin Chitaloka. Mimpi adalah apa yang disebut pekerjaan bagi mahluk-mahluk di Chitaloka. Cinta adalah buku,adalah pena, adalah kamera, adalah alat bagi mahluk-mahluk di Chitaloka untuk bekerja. Dan Kebahagiaan di Chilaloka adalah apa yang manusia kenal sebagai uang.

Cerita ranting yang berbincang dengan daun pada saat itu adalah tentang kasih sayang. Kasih sayang adalah semacam koran, majalah atau berita yang biasa manusia bicarakan tiap pagi. Tapi pagi di Chitaloka adalah dimana cahaya masih hanya seukuran padi. Tuhan sengaja tidak menciptakan Matahari, Tuhan tidak ingin membuat mahluk-mahkluk di Chitaloka menderita kepanasan. Tuhan hanya menyinari Chitaloka dengan cahaya yang hanya bersinar 5 jam saja.

Siang di Chitaloka berlangsung selama setengah dari satu jam, lalu sisanya adalah pagi dan senja. Malam tidak ada. Tuhan tidak ingin mahluk-mahluk di Chitaloka lama beristirahat. Tuhan hanya ingin bermain dan terenyum terus menerus bersama mahluk-mahluk di Chitaloka. Otomatis hanya setengah dari satu jam jatah mahluk-mahluk di Chitaloka beristirahat.

Kekerasan, penderitaan dan pertikaian adalah seperti alien bagi mahluk di Chitaloka. Tahu tapi tidak pernah melihatnya. Hanya sebuah pengetahuan saja. Seketika Tuhan teringat kepada mahluknya yang sempuna. Dia biarkan dulu sejenak dan tinggalkan Chitaloka untuk memantau manusia. Rupanya masih belum berubah, malah banyak yang merusak dan tidak percaya akan keberadaanNya.

Berbisik Tuhan pada malaikat. Entah apa yang dibisikan, entah apa yang diperintahankan, hanya Tuhan yang tahu dan tentunya malaikat. Kembali Tuhan menyaksikan Dunia yang bernama Chitaloka itu. Ranting, daun, kupu-kupu, kumbang, pohon, awan dan semua di Chitaloka sedang tersenyum dan hanya tersenyum dan tersenyum. Tuhan bahagia, Tuhan selalu Bahagia, hanya saja terkadang murka, itu pun karena mahluknya yang konon sempurna yaitu manusia, penyebabnya.

Kepada ranting Tuhan memandang, kepada kumbang Tuhan membelai, kepada daun Tuhan menggoda nakal. Indah yang tak Tuhan dapat di Dunia yang bernama Bumi berserakan di Chitaloka..



23 Desember 2011
 
oleh Azmil R. Noel Hakim pada 23 Desember 2011 pukul 0:13
0 komentar

Bahagia, Kemarin, Cahaya dan Dunia

Dunia adalah serpihan dari bubuk kopi, teh, gula, garam dan asam yang bergumul menjadi satu.

Dari pagi kepada senja untuk siang yang diasingkan malam.

Wahai kelam yang tak kunjung kelabu...

Cahaya adalah air kencing malaikat yang diintip iblis di kahyangan.

Dari titik kepada detik untuk pelik yang dihinakan mistik.

Awan tersipu oleh kertas dari sudut menjadi serabut.

Kemarin adalah daun yang berucap tentang cinta kepada ranting.

Dari pelit kepada rumit untuk sulit yang dibahagiakan peluit.

Belokan menjadi surga untuk kita kelak..

Bahagia adalah senyum yang terlempar hanya untuk diri seorang.

Dari letih kepada perih untuk lirih yang menjadikannya sedih.

Sulit dilupakan serabut otak dimakan pikiran untuk kenangan.

21 Desember 2011

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 21 Desember 2011 pukul 20:40

0 komentar

Kelak Kenangan

Yang akan kita kenang kelak adalah ketika titik di kelokan itu.

Dengan danau kumuh, lalu lalangnya pemuda-pemudi, dan panasnya kota itu.

Yang akan kamu kenang kelak adalah ketika kamu berkeliling hanya untuk mencari gelandangan lusuh.

Dengan kamu yang berkeringat, lelah dan gerah karna panasnya kota itu.

Yang akan kamu kenang kelak adalah ketika kamu berhasil menumukan gelandangan lusuh itu.

Dengan kesalnya kamu, muaknya kamu, dan marahnya kamu karna lelah berkeliling.

Kandang aku berpikir,

keterdesakkan apa yang mendorong kamu untuk melakukan hal yang melelahkan itu semua..

Dan yang aku kenang kelak adalah ketika melihat kamu disudut jalan itu.

Dengan senyumanmu, dengan keringat diwajahmu, dan dengan kesederhanaan yang tersemat dalam dirimu.

Terimakasih atas beberapa menit di kota yang panas itu.

Terimakasih atas kesudiannya untuk bertemu..

Selesai

Jatinangor, 15 Desember 2011

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 15 Desember 2011 pukul 15:54

0 komentar

Keterkaitan Budaya Terhadap Sejarah

Oleh : Azmil R. Noel Hakim

Latarbelakang

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita tidak akan pernah lepas dengan Budaya. Kaitan Budaya dalam kehidupan sehari-hari kita sangat erat. Bagaimana cara kita bertuturkata, bagaimana cara kita bersosialisasi, dan bagaimana cara kita bekerja adalah dipengaruhi besar oleh Budaya. Seperti contoh, cara bertuturkata orang Sunda dengan orang Melayu akan sangat berbeda, bagaimana intonasi orang Sunda dan orang Melayu sangat jauh berbeda yang disebabkan oleh perbedaan budaya itu sendiri.

Makalah ini pun bukan akan membahas perihal perbandingan Sejarah dengan Budaya. Tapi, penulis dalam makalah ini mencoba membahas bagaimana Budaya sangat berpengaruh dalam unsur-unsur kesejarahan. Seperti Budaya menjadi salah satu kekuatan dalam Sejarah dan juga pengaruh Budaya dalam Penulisan Sejarah (Historiografi) (Kontowijoyo,2005:138,38).

Penulis pun dalam tulisan ini akan menjelaskan perihal apa yang akan penulis lakukan kelak jika telah selesai menempuh studi Ilmu Sejarah. Mungkin bagi sebagian orang mempelajari Sejarah itu membosankan apalagi Budaya, jika dibandingkan dengan Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Sastra. Dengan kurangnya minat akan Sejarah membuat sebagian atau bahkan kebanyakan orang bosan belajar Sejarah. Orang lebih memilih dan berminat pada Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Sastra dibandingkan Sejarah karna Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Sastra cenderung mengkaji hal-hal yang bersifat kontemporer sedangkan Sejarah adalah ilmu yang mengkaji masa lampau, seperti  yang dijelaskan dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah yang ditulis oleh Prof. Kuntowijoyo. Demikian pula bahwa Sejarah itu bukan Sastra. Walaupun kebanyakan prodi Ilmu Sejarah sering terdapat dalam Faklutas Sastra di berbagai Universitas, contohnya Universitas Padjadjaran. Sejarah itu berada di pertengahan antara Ilmu Sosial dengan Ilmu Sastra seperti yang dijelaskan oleh Prof. Nina H. Lubis dalam salah satu pertemuan kuliah. Ada tiga macam perbedaan Sejarah dengan Sastra antara lain dalam cara kerja, dalam kebenarannya, dalam hasil dan dalam kesimpulan (Kuntowijoyo, 2005:11). Jelas mengapa Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Sastra lebih diminati dibandingkan dengan Sejarah.

Seorang Sejarawan selain berkutat dengan masa lalu juga berperan sebagai pengawal dari Warisan Budaya yang terdapat disekitarnya dan juga sebagai penafsir dari perkembangan manusia (Gottschalk, 2008:26). Kelak penulis setelah selesai belajar dalam prodi Ilmu Sejarah, penulis akan mendatangi satu persatu Desa-Desa yang ada di Indonesia mulai dari Sabang hingga Merauke. Penulis ingin melihat peninggalan-peninggalan Sejarah yang tersisa dari tiap desanya dan menyaksikan langsung Budaya dari tiap Desa. Penulis ingin mendatangi tempat-tempat sejarah yang ada di tiap desa, seperti di Aceh tempat yang dulu pernah berdiri Kerajaan Islam pertama yaitu Kerajaan Samudra Pasai dan seperti di Yogyakarta, mengunjungi Kraton-Kraton yang pernah dijadikan Istana Kerajaan atau Kesultanan yang ada di Jawa.

Penulis ingin merasakan langsung bagaimana Budaya sebagai Kekuatan Sejarah yang berada di tiap-tiap Desa atau Provinsi di Indonesia. Selain penulis tergerak untuk melihat secara langsung bagaimana Budaya menjadi Kekuatan Sejarah, adalah Etnis dan Ras yang terdapat di Indonesia yang dengan keragamannya menjadi salah satu Kekuatan Sejarah pula (Kuntowijoyo, 2005:136), yang menjadikan Sejarah Indonesia itu sendiri menjadi kaya dan beragam.

Penulis setelah lulus dalam menempuh studi Ilmu Sejarah sangat berharap bisa menjadi seorang peneliti, baik meneliti Sejarah itu sendiri maupun Budaya. Penulis pun selain berharap menjadi seorang Sejarawan, berharap juga bisa menjadi seorang Budayawan. Karna Insyaallah kelak penulis akan mengambil pengutamaan Sejarah Budaya

Rumusan Masalah

Terdapat beberapa masalah yang kemudian bisa disalahartikan akibat ketidakjelasaan dari apa yang dimaksud dari Sejarah itu sendiri dan juga dengan apa yang dimaksud dengan Budaya itu sendiri. Ada semacam paradigma yang muncul tanpa penalaran terlebih dahulu. Semisal paradigma yang muncul adalah seolah-olah Sejarah dengan Budaya itu adalah sesuatu hal yang bertololak belakang. Padahal jika kita perhatikan banyak pula para Sejarawan yang juga adalah seorang Budayawan, atau bahkan sebaliknya. Oleh karna itu penulis akan mencoba menjelaskan terlebih dahulu pengertian Sejarah dan pengertian Budaya. Kemudian penulis akan mencoba menjelaskan bagaimana Budaya mempengaruhi Gerak-Gerak Sejarah yang kemudian menjadikannya sebagai salah satu Kekuatan Sejarah. Dan pula, implikasi dari budaya itu sendiri yang kemudian menciptakan berbagai keragaman khas dari tiap Desa, yaitu Ras dan Etnis. Yang kemudian oleh Prof. Kuntowijoyo dalam bukunya dikategorikan menjadi kekuatan sejarah juga (Kuntowijoyo, 2005:136).

Tujuan Penulisan

            Tujuan Penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas akhir matakuliah Dasar-Dasar Ilmu Sejarah. Selain daripada itu juga, penulis berharap makalah ini pun dapat berguna dikemudian kelak, baik untuk penulis secara pribadi atau orang-orang terdekat penulis secara umum.

Keterkaitan Budaya terhadap Sejarah

Sebelum menjelaskan lebih dalam bagaimana peran Budaya terhadap Sejarah dan bagaiman keterkaitan Budaya terhadap Sejarah. Penulis akan mencoba menjelaskan terlebih dahulu pengertian Sejarah dan Budaya itu sendiri. Lalu bagaimana Budaya, Etnis dan Ras menjadi bagian dari Kekuatan Sejarah.

Pengertian Sejarah

Sejarah adalah sebuah Rekonstruksi Masa Lalu (Kuntowijoyo, 2005:17). Prof. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa Sejarah adalah bukan membahas masa lalu untuk kepentingan masa lalu itu sendiri. Tapi, menurut Sejarah adalah sebuah peristiwa yang telah lalu yang kemudian direkonstruksi oleh Sejarawan untuk kepentingan masa kini dan masa depan. Sering kita mendengar istilah “We Look back to Go A Head”, seperti itu pula lah yang dimaksudkan oleh Prof. Kuntowijoyo.

Dalam bukunya juga, Prof. Kuntowijoyo menjelaskan bagaimana cara sejarawan bekerja dan harus seperti apa sejarawan merekonstruksikan masa lalu itu sendiri.

Sejarah juga dalam bahasa inggris yaitu history dan dalam bahasa arab syajaratun, yang kemudian diartikan menjadi sebuah peristiwa masa lampau (Gottschalk.2008:33). Dalam salah satu perkuliahan yang dipaparkan oleh Prof. Nina H. Lubis, beliau menyatakan bahwa Sejarah adalah yang terjadi pada masa lalu manusia yang menyiratkan adanya perubahan atau Gerak Sejarah. Prof. Nina H. Lubis juga membagi sejarah dalam 3 bagian, yaitu Sejarah sebagai Ilmu, Sejarah sebagai Peristiwa dan Sejarah sebagai Kisah. Sejarah sebagai Ilmu adalah Sejarah yang dipelajari sesuai kaidah Pendidikan. Sejarah sebagai Peristiwa adalah Sejarah secara objektif, dan Sejarah sebagai Kisah adalah Sejarah secara subjektif. Pengertian bahwa Sejarah dibagi kedalam tiga bagian juga dijelaskan oleh R. Moh. Ali dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah (Ali.1963:8).

Prof. Kuntowijoyo juga menyatakan bahwa Sejarah adalah Ilmu tentang sesuatu, terperinci dan satu-satunya (Kuntowijoyo. 2005:16). Istilah yang menyatakan bahwa Sejarah berulang adalah apa yang Prof. Kuntowijoyo maksudkan dengan Ilmu tentang sesuatu, terperinci, dan satu-satunya. Yang berulang itu adalah pola-pola dari peristiwa masa lalu yang serupa dengan peristiwa yang sedang terjadi. Sejarah juga adalah ilmu yang mempelajari tentang perkembangan dan Sejarah pula adalah ilmu tentang manusia dan waktu (Kuntowijoyo. 2005:28,12,13).

Pengertian Budaya

Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat manusia yang tertata dalam sebuah kelompok masyarakat, yang kemudian dari konsep tersebut diturunkan dari generasi ke generasi. Konsep tentang Budaya pula mencakup kedalam banyak hal yaitu pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, waktu, peranan, ruang, alam semesta, dan materi (Mulyana,Rakhmat.2003:18).

Budaya juga adalah sebuah peradaban yang mengandung pengertian luas yang meliputi pemahaman, perasaan, pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari masyarakat (Taylor.1897,dalam Sulaeman.1995:10).

Jadi, singkatnya adalah menurut pemahaman penulis bahwa Budaya atau Kebudayaan itu adalah sebuah kebiasaan khas dari suatu kelompok masyarakat yang berkembang secara lama yang kemudian menghasilkan sebuah peradaban yang akan menjadi ciri khas dari sekelompok masyarakat tersebut yang kemudian membentuk sebuah Suku, Bangsa, Etnis atau Ras.

Tetapi, dewasa ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan para filsuf kebudayaan perihal istilah “kebudayaan” dan “peradabaan” itu sendiri. Belum adanya kesepakatan defenitif tentang pengertian kedua istilah tersebut dari para filsuf kebudayaan (Kusumohamidjojo.2009:199). Pengertian kebudayaan itu sendiri sudah melebar dari pengertian sebenarnya dan telah mencakup pemahaman yang sudah sangat jauh melampaui konotasi pengerjaan tanah belaka (peradabaan), bahkan telah sampai mencakup kepada perilaku pada eksistensial manusia itu sendiri (Kusumohamidjojo.2009:200).

“Setiap orang terlibat dalam proses kebudayaan dan sampai tingkat tertentu menjadi subjek daripadanya. Sebaliknya tidak semua orang terlibat dalam proses peradaban”(Kusumohamidjojo.2009:200).

Dari kalimat diatas yang dikutip langsung dari buku Filsafat Kebudayaan ; Menuju Realisasi Manusia yang ditulis oleh Budiono Kusumohamidjojo. Bahwa Kusumohamidjojo ingin berkata bahwa peradaban itu cenderung sebuah generalisasi dari apa itu yang disebut dengan kebudayaan. Sebuah peradabaan hanyalah simpulan umum dari kebudayaan suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa. Seperti contoh, kebudayaan Bangsa Babylonia adalah salah satu peradaban dari Peradaban Mesopotamia. Dan Kusumohamidjojo berkesimpulan bahwa kebudayaan itu adalah gaya hidup dari sekelompok masyarakat yang segala perilaku yang dipelajari oleh setiap  individu terdapat didalamnya yang diharapkan oleh kelompok tersebut itu sendiri, terlepas kebududayaan itu primitif atau modern (Kusumohamidjojo.2009:201).

Budaya, Etnis dan Ras sebagai Kekuatan sejarah

Dalam salah satu pertemuan kuliah, Prof. Nina H. Lubis menerangkan bahwa Kekuatan Sejarah adalah sesuatu hal atau keadaan yang bisa menimbulkan Gerak Sejarah. Kemudian beliau pun menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Gerak Sejarah tersebut adalah hal/keadaan yang dapat mempengaruhi Sejarah itu sendiri.

Budaya sebagai Kekuatan Sejarah adalah bagaimana Budaya dapat menimbulkan gerak-gerak Sejarah yang mempengaruhi Sejarah itu sendiri. Seperti contoh, Sejarah Indonesia tidak dapat terlepas dari Budaya Belanda yang lama menjajah kita selama beberapa abad. Bangunan-bangunan yang dibuat oleh Kolonial Belanda di kota-kota besar Indonesia (Kuntowijoyo.2005:138) adalah bermaksud bahwa Kolonial Belanda ingin menunjukan bahwa mereka kuat dan berkuasa dan juga sebagai peringatan atau ancaman untuk kita Bangsa Indonesia pada saat itu untuk tidak berani mencoba untuk melawan dan menjatuhkan kekuasaan mereka.

Disana terlihat bahwa Belanda ingin mencoba menanamkan Budaya mereka ditempat dimana mereka menjajah suatu bangsa, mungkin akan ada berbagai komentar pro maupun kontra perihal apa yang dilakukan Belanda pada saat menjajah kita itu. Adalah telah menjadi suatu ciri khas dari sebuah sistem kolonialisasi bahwa doktrinisasi dan intimidasi terhadap yang dijajah memang selalu terjadi, apalagi semboyan Belanda dalam melakukan penjajahan adalah Glory, Gospel dan Golden, yaitu Kemenangan, Penyebaran Agama dan Kekayaan. Ketika pada masa Sekolah Menengah Atas Guru Sejarah penulis pernah menjelaskan bahwa sistem penjajahan Belanda adalah sistem Penjajahan terjijik dibandingkan dengan Inggris dan Prancis. Beliau menjelaskan bahwa Belanda hanya memikirkan keuntungan pribadi tidak seperti Inggris dan Prancis yang peduli akan kecerdasan bangsa yang dijajahnya.

Kemudian bagaimana Etnis dan Ras pun menjadi kekuatan sejarah yang dimana Etnis dan Ras tersebut bisa menimbulkan gerak-gerak yang turut berkontribusi kepada Sejarahnya kelak. Seperti beberapa Suku di Indonesia pada masa penjajahan mencoba memberontak kepada Kolonial, seperti di Tanah Batak pemberontakan yang dipimpin oleh Sisingamangaraja, juga di pemberontakan yang dilakukan di Tanah Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponogoro dan pemberontakan yang dilakukan di Tanah Minang yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Tiap Suku pada saat itu memberontak demi kepentingan Suku mereka bukan demi Indonesia. Karna konsep tentang  Kesatuan dan Persatuan Indonesia belum dikenal pada saat itu, sebutan Indonesia pun belum begitu sontar, maka kemudian sebelum kemerdekaan Nusantara adalah sebutan yang merujuk kepada apa yang sekarang disebut Indonesia saat ini.

Dengan keberagaman Suku dan Ras yang ada di Indonesia membuat Indonesia menjadi sangat kaya dalam bidang Kebudayaan. Tapi dari keberagamaan tersebut pula tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya SARA. Tapi kontribusi dan sumbangsih dari setiap Etnis dan Ras yang ada di Indonesia perlu diapresiasi (Kuntowijiyo.2005:137)

Keterkaitan Budaya dengan Sejarah

Dari uraian penjelasan diatas penulis mencoba menyimpulkan bahwa Budaya sangat erat ketertkaitannya dengan Sejarah. Makalah ini pun bukan bertujuan untuk membandingan antara Sejarah dengan Budaya. Tapi mencoba untuk menjelaskan bagaimana antara Sejarah dan Budaya adalah saring beriringan tidak bertolakbelakang atau bahkan saling mencacimaki.

Tidak ada suatu hal pun yang dapat lepas dari yang namanya Sejarah, jika hal tersebut tidak memiliki Sejarah patut dipertanyakanlah eksistensi keberadaan hal tersebut.

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Budaya adalah gaya hidup khas dari suatu masyarakat yang berlangsung secara lama dan diturunkan dari generasi ke generasi (Kusumohamidjojo.2009:201), dan Sejarah adalah suatu peristiwa masa lampau yang direkonstruksikan dalam sebuah tulisan atau media lainnya (Kuntowijoyo, 2005:17). Atau juga Sejarah adalah sebuah Peristiwa, Kisah dan Ilmu yang berbicara tentang masa lalu demi kebaikan masa kini atau masa yang akan datang (Ali.1963:8).

Penulis pun berpendapat bahwa dari berbagai definisi perihal Sejarah dan Budaya merujuk kepada suatu kesimpulan bahwa Sejarah dan Budaya itu salaing berkaitan satu sama lain, yang dimaksud berkaitan adalah ketika dimana kita mengkaji perihal Sejarah suatu pedesaan secara tidak langsung para Sejarawan mau tidak mau terjun, masuk dan berkelut kepada Budaya di pedesaan itu sendiri. Sebaliknya ketika seorang Budayawan akan mempelajari Budaya suatu Suku, Bangsa atau Etnis mereka pun pasti akan bergelut dengan Sejarah dari Suku, Bangsa atau Etnis yang akan dipelajarinya itu, jika memang suatu Suku, Bangsa dan Etnis tersebut telah ada Sejarahnya. Jika belum, maka para Budayawan akan menghubungi Sejarawan untuk meneliti Sejarah dari suatu Suku, Bangsa dan Etnis tersebut. Dan pada sisi ini terlihat bagaimana Sejarawan dan Budayawan dapat beriringan.

Cara berfikir sejarah yang plurikausal membuatnya bisa berguna bagi setiap aspek kehidupan dan setiap disiplin ilmu (Kuntowijiyo.2005). Begitu pula dengan Sejarah Penulisan Sejarah (Historiografi) yang sangat kental akan peran Budaya didalamnya. Dalam penulisan Sejarah, para Sejarawan pasti dipengaruhi oleh jiwa zamannya (Zeitgeist). Dimana yang dimaksudkan dalam jiwa zaman tersebut adalah dimana Budaya, perilaku dan kebiasaan yang sedang terjadi pada zaman tersebut melatarbelakangi penulisan sejarahnya. Seperti misal, dimana seorang Sejarawan Yunani dan Sejarawan Persia tidak akan sama dalam menuliskan perihal peperangan antar kedua bangsa tersebut (Kuntowijoyo.2005:35-57).

Maka jelas dari semua runtutan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Budaya sangat berperan terhadap Sejarah dan prosesnya. Sebaliknya, Sejarah pun sangat berperan besar terhadap Budaya sekitar. Walaupun memang diakui Sejarah adalah suatu Disiplin Ilmu yang plurikausal yaitu yang berpikir dengan banyak aspek yang menjadikannya diperlukan oleh setiap Disiplin Ilmu.

Kesimpulan

Merujuk pada penjelasan diatas. Jelas bahwa masih terdapat semacam paradigma awam yang berpendapat bahwa Sejarah itu tidak bisa mengkaji Budaya demikian pun sebaliknya. Paradigma tersebut acap kali menjadi penghalang bagi mereka yang berkutat dalam kedua aspek tersebut. Dimana ketika para Sejarawan mencoba mengkaji dan menjelaskan perihal yang berkaitan dengan kesejarahan dianggap tidak mampu dan akan berunjung pada sebuah kegagalan. Sangat tidak adil. Paradigma tersebut mengikis ruang untuk para Budayawan bekerja dan belajar akan ilmu yang mereka miliki.

Maka tergerak akan paradigma tersebut penulis terasa tertantang untuk mengkaji Budaya selain memfokuskan diri terhadap Sejarah itu sendiri. Pun, dengan latarbelakang keluarga yang mendukung penulis untuk bergelut dengan Sejarah dan juga latar belakang keluarga dengan Budaya yang berbeda menjadi semangat tersendiri bagi penulis. Dari perbedaan latarbelakang keluarga tersebutlah penulis dirasa patut dan harus mengkaji Budaya keluarga, guna mengetahui latarbelakang keluarga yang berbeda Budaya tersebut yang bisa bersatu dan bertahan lama hingga saat ini.

Keluarga ayah yang berasal dari Tanah Minang dari suku Pariaman dan Keluarga Ibu yang berasal dari Tanah Pasundan. Budaya Pariaman dan Sunda yang sangat jauh berbeda, mulai dari cara bertuturkata, intonasi dalam bertuturkata, cara pandang berfikir menjadikan penulis tak habis fikir dan takjub akan kekayaan Budaya yang dimilik Indonesia.

Kelak ketika penulis telah lulus dan selesai dalam menempuh studi Ilmu Sejarah. Terlebih dahulu penulis akan mempelajari kedua Budaya yang melatarbalkangi keluarga penulis, mempelajari sejarah kebudayaan dari keluarga untuk lebih meyakinkan penulis pada apa yang akan penulis perbuat kelak sebagai Sejarawan bahkan sebagai Budayawan.

Kajian perihal Sejarah Kebudayaan pun masih sangat jarang dikaji para Sejarawan. Untuk saat ini para Sejarawan lebih berminat mengkaji Politik ketimbang Budaya yang dianggap kompleks. Dengan mengkaji Budaya para Sejarawan dianggap akan memberi kontribusi bagi kebaikan bangsa dan kepentingan negara Indonesia untuk kedepannya (Kuntowijoyo.2003:133).

Perkembangan budaya di Dunia pun telah maju dengan pesat seiring dengan kemajuan teknologi itu sendiri. Jika zaman dulu di Indonesia pernikahan antarsuku/antarbudaya masih dianggap tabu. Berbeda dengan sekarang, pernikahan antarsuku/antarbudaya telah menjadi lumrah, bahkan pernikahan antarbangsa/antarbudaya yang berbeda negara pun telah menjadi hal yang biasa dan lumrah (Mulyana,Rakhmat.2003:239).

Terlihat jelas bahwa bukan suatu hal mustahil antara Sejarah dan Budaya untuk saling beriringan dalam bekerja, dan juga bagaimana besarnya kontribusi Budaya terhadap Sejarah itu sendiri. Paradigma awam yang muncul perihal antara Sejarah dan Budaya adalah sebuah paradigma prematur yang tanpa pengolahan nalar terlebih dahulu.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, R, Moh. 1965. Pengantar Ilmu Sedjarah. Jakarta: Bhrata.

Gottschalk, Louis. 2008. Mengerti Sejarah. Alihbahasa Nugroho Notosusanto. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: P.T. Tiara Wacana Yogya.

Kusumohamidjojo, Budiono. 2009. Filsafat Kebudayaan ; Proses Realisasi Manusia. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.

Mulyana, Deddy., Jalaludin Rakhmat. 2003. Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Rosda.

Sulaeman, M. Munandar. 1995. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: P.T. Eresco.

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 14 Desember 2011 pukul 19:55

0 komentar

Menjadi Berantakan

Rintik-rintik itu tercipta dari tutup botol yang dilempar Tuhan dari langit.

Gemericik membias menjadi warna biru.

Kilatan-kilatan itu tak sengaja ada,

Pasti ada yang tak terduga.

Suara tikus lebih indah dibanding jangkrik kelak.

Ketika lintasan asap menjadi alas kulit kita.

Debu-debu itu membentuk sebuah wajah indah.

Tik, tik, tik, tik...

Batangan yang terlihat menjadi tempat kita berteduh nantinya.

Yang menjadi atapnya adalah ketidakpastian.

Kertas menjadi hawa nafsu untuk mengadu.

Yang berkuasa adalah kata-kata.

Selesai.

13 Desember 2011

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 13 Desember 2011 pukul 18:30

0 komentar

Rumusan Masalah

Bab I,

Pendahuluan,

Latarbelakang,

Tujuan Penulisan, lalu

Rumusan Masalah...

Rumusan Masalah adalah apa yang akan dibahas kelak di makalah. Rumusana Masalah adalah perumusan bahasan-bahasan yang akan kelak dibahas di makalah. Dan Rumusan Masalah adalah bencana yang tak ada kiranya ketika kantuk, malas, bingung dan bosan menjadi satu.

Rumusan Masalah juga adalah masalah ketika tangan lebih memilih maraih kopi dan menutup mulut karna menguap. Rumusan Masalah juga seperti diperintah untuk menyapu, mencuci piring atau ngepel. Rumusan Masalah juga adalah masalah antara yang diperbincangkan dengan memperbincangkan. Rumusan Masalah juga adalah titik dimana kata-kata di otak habis dan mogok keluar. Rumusan Masalah juga adalah dimana detik-detik yang disobek lalu dibakar lalu disimpan ke dalam kulkas dan esoknya baru kita buang ke tempat sampah.

Rumusan Masalah juga adalah pembangkangan Adam kepada Tuhan karna melanggar titahNya. Rumusan Masalah juga adalah diturunkannya Adam ke Bumi dari Surga. Rumusan Masalah juga adalah terlihatnya aurat Adam dan Hawa. Masih dengan Rumusan Masalah, Rumusan Masalah juga adalah menolong nenek-nenek atau orang buta menyebrang jalan. Rumusan Masalah juga adalah seperti mandi jam 3 pagi. Rumusan masalah juga adalah menggaruk-garuk kepala lalu berjatuhanlah ketombe. Rumusan Masalah juga adalah seperti menggeruk air laut dengan sendok. Rumusan masalah juga adalah sisa cabe yang terselip di gigi. Rumusan masalah juga adalah orang gila yang tak mandi ribuan tahun. Rumusan Masalah juga adalah push up 3 ribu kali di atas gelas-gelas pecah.

Dan Rumusan Masalah adalah hal yang harus segera dituntaskan sebelum peri-peri kecil mengajak bermain di dunia mereka.

Selesai.. 12 Desember 2011

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 12 Desember 2011 pukul 23:07

0 komentar

Diantara jerit-jerit Anggrek Biru

Entah apa yang akan saya sampikan dalam tulisan ini. Hanya saja setibanya saya di rumah setelah berpetualang di Baduy Kanekes. Yang menyambut saya adalah kekecewaan, ketidaknyamanan, dan kehilangan. Ketika membuka pintu kamar saya, kamar saya menjadi sangat bersih, wangi dan semua-mua yang positif tersemat di dalamnya. Tidak nyaman, tentu saja, pastinya. Bagi orang seperti saya berantakan lebih indah, wewangian di dalam kamar membuat saya muntah-muntah seperti kemasukan setan, hal-hal positif membuat saya tak bisa berfikir nyastra, tak mau inspirasi masuk ke pikiran. Ah, sumpah tak nyaman.

Kemudian teringatlah saya dengan suasana keindahan alam di Baduy di Kanekes sana. Tak ada listrik, tak ada suara hape, tak risau dengan sms, telepon dan lainya. Yang ada hanya tentram, damai, tenang dan indah. Bagaimana tidak, yang memanjakan telinga di pagi hari adalah suara-suara percikan aliran sungai yang jernih, memasuki malam giliran suara jangkrik yang memanjakan kita. Saya berani jamin, mereka para sastrawan, pujangga, penulis dan lainya yang bergulat akan kemesraan bahasa akan sangat betah berada disana. Inspirasi bagaikan air terjun yang tak habis-habisnya turun berjatuhan ketika berada disana. Kemudian yang memanjakan pandangan kita adalah hijau-hijaunya dedaunan, jernihnya air sungai dan banyak lagi yang indah-indah.

Kepada saudara-saudara saya yang kemarin menemani saya berkunjung ke alam Baduy di Kanekes, Rey, Iki, Mory dan Jul, mari kita kembali kesana secepat mungkin kawan, mari.

Di tempat sekitar kita, kita tak disuguhkan kenyamanan alam. Di tempat sekitar kita, alam tak sudi memberikan kekayaannya. Kita disana menjadi sadar, menjadi bersih, menjadi tenang, menjadi tentram, dan menjadi manusia yang benar-benar bersahabat dengan alam. Soe Hok Gie juga berkata bahwa kita harus benar-benar berbaur dengan alam untuk menjadi sukses.

Ini tulisan adalah bentuk ketidaksabaran saya untuk menuliskan indahnya alam Baduy. Terciptanya tulisan ini dengan klimaks yang sudah mencampai puncaknya. Gelisah sangat karna telah lama tak menulis. Tulisan perihal perjalan dan pengalaman kita disana kelak kemudian akan saya suguhkan kawan. Semoga berkenan dengan tulisan yang sembraut ini, semoga nyaman dengan tulisan yang tak beraturan ini, semoga damai tentram seperti layaknya di alam Baduy Kanekes sana. Semoga!!!

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 9 Desember 2011 pukul 20:33

0 komentar

Kemarin, Kini dan Kelak

Kepada kemarin yang belum sempat tertuliskan.

Kepada kini yang tek sempat terlaksanakan.

Kepada kelak yang belum terfikirkan.

Butiran-butiran embun pagi di pelataran pedesaan tradisional.

Hijaunya pepohonan di hutan pedesaan tradisional.

Suara ricik-ricik air yang mengalir di sungai pedesaan tradisional.

Kepada mereka yang konon masih keturunan Padjadjaran.

Kami datang......

Gedebage, 03 Desember 2011

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 3 Desember 2011 pukul 15:41

0 komentar

Damai, Tentram dan Beberapa tetes sisa Hujan

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,

dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencitaimu dengan sederhana,

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”

Puisi diatas adalah susunan kata yang disusun oleh Sapardi Djoko Damono yang berjudul Aku Ingin. Seorang sastrawan mungkin atau hanya sekedar pujangga, saya juga tidak tahu. Hanya saja puisi diatas sangat sangatlah indah tiada tara. Saya juga tak kenal dengan Sapardi yang menulis puisi diatas,  siapa dia , wajahnya seperti apa,  apalagi kabarnya, entah dia masih hidup atau telah tiada, saya juga tidak tahu. Tapi, dia bisa membuat puisi yang hebat, yang seakan saya dibuat mengenal baik  dengannya.

Sangat sederhana puisi yang ia buat. Sesederhana kehidupan para petani. Apa yang ia sampaikan dalam puisi tersebut dapat ditangkap dengan mudah. Kekuatan kata memang luarbiasa. Dengan puisi diatas perempuan-perempuan yang sedang kasmaran bisa terbang dibuatnya, terbang ke Bulan bahkan bisa sampai hingga ke Pluto.

Kemudian puisi tersebut menjadi sangat indah, sangat indah sekali ketika dimusikalisasikan. Yang musikalisasi dari puisi tersebut digunakan menjadi soundtrack film Cinta dalam Sepotong Roti. Entah itu judul filmnya atau tidak, saya juga kurang tahu pasti. Kapan musikalisasi puisi itu dibuat, kapan musikalisasi itu digunakan menjadi soundtrack film Cinta dalam Sepotong roti, kapan film Cinta dalam Sepotong Roti dibuat, siapa produser dan sutradara film Cinta dalam Sepotong Roti saya juga tidak tahu betul. Yang pasti musikalisasi puisi tersebut sangatlah indah, sangat indah.  Ah, sumpah, sumpah, sumpah, sumpah. Sumpah beribu-ribu kali, sangat indah musikalisasi puisi Aku Ingin tersebut.

Saya mendengar pertama kali musikalisasi puisi tersebut ketika pada masa rangkaian pengenalan fakultas. Pada saat itu saya belum mengetahui puisi siapa yang dimusikalisasi tersebut dan apa judulnya. Ketika itu orang-orang disekitar saya acuh, sangat acuh sekali. Padahal sangat indah sekali untaian-untaian nada dari tiap kata yang dilanturkan dalam musikalisasi pada saat itu. Tapi setelah itu saya tak mendengarkannya kembali, sampai pada ketika saya pergi ke pameran buku di Braga hari Jum’at tanggal 02 Desember tahun 2011. Ketika sedang melihat-lihat buku di Stand penerbit buku Ultimus, terdengar sayup-sayup lagu yang indah dan terasa tak asing ditelinga. Ketika telinga fokus mendengar dan otak bekerja mengingat, sontak saya teringat kepada musikalisasi puisi pada saat pengenalan fakultas.

Ketika ditanya kepada orang yang menjaga stand tersebut ternyata selidk punya selidik itu adalah musikalisasi puisi yang diambil dari puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul Aku Ingin. Mendengarkannya serasa berada di dunia damai nan tentram yang jauh dari hiruk pikuk kekacauan. Mendengarkannya serasa berada di depan gedung tua megah khas Belanda dengan sisa-sisa hujan sambil menyeruput teh hangat. Mendengarkannya dapat membuat diri ini bergairah, bergairah untuk membaca dan menulis. Sumpah, sumpah, sumpah. Mendengarkannya serasa dibuai oleh angin, dilindungi oleh awan dari cahaya matahari dan dibacakan dongeng oleh suara-suara buaian angin.

Kapan saya bisa membuat puisi yang hebat dan mewah yang dapat membuat orang yang membacanya merasa damai. Kapan saya bisa memusikalisasikan puisi hebat yang dapat membuat orang yang mendengarkannya menjadi tentaram. Entahlah biarkan waktu yang menjawab. Atau bahkan saya tak akan pernah sanggup membuat puisi hebat dan mewah, tak akan pernah dapat memusikalisasikan puisi yang dapat membuat orang tentram. Entah lah, biarkan mengalir apa adanya dan sewajarnya, tak usah dipikirkan.

Puisi dan musikalisasi puisi Aku Ingin ini dapat membuat saya bergairah, bergairah untuk membaca dan menulis. Terimakasih, semoga sastrawan dan pujangga disana dapat membuat puisi-puisi hebat lainnya. Bukan hanya membuat orang yang membaca atau mendengarkannya terbuai oleh kata-kata yang terdapat dalam puisi yang dibuat. Tapi bisa membuat mereka yang membacanya bergairah untuk melakukan hal positif, semisal membaca dan menulis. Semoga.

Sekian.

Cicalengka, 02 Desember 2011 dengan ditemani alunan musikalisasi puisi Aku Ingin.

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 3 Desember 2011 pukul 7:49

0 komentar

Sajak Kecil Tentang Cinta

Oleh : Sapardi Djoko Damono

Mencintai angin harus menjadi siut.

Mencintai air harus menjadi ricik.

Mencintai gunung harus menjadi terjal.

Mencintai api harus menjadi jilat.

Mencintai cakrawala harus menebas jarak.

Mencintaimu harus menjelma aku.

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 2 Desember 2011 pukul 23:28

0 komentar

Terkulainya Rambut Gondrong dihempas Angin

“Rambut adalah sebuah mahkota bagi wanita”.

Entah mahkota apa, dan seperti apa, dan mau diapakan itu mahkota saya juga tidak tahu dan tidak paham jelas maksud dari kalimat tersebut. Entah dari siapa dan sejak  kapan kalimat tersebut mencuat dan menjadi motto hidup kaum wanita, saya juga tidak tahu. Yang pasti, rambut gondrong adalah sebuah fenomena unik, terkhusus bagi pribadi saya sendiri.

Dari kalimat itu juga, terbentuk sebuah asumsi bahwa yang berhak dan pantas berambut gondrong hanyalah kaum wanita, dan kaum pria haram hukumnya untuk berambut gondrong. Cukup menggelikan dan sekaligus sedikit merepotkan untuk asumsi tersebut, karna asumsi tersebut ternyata dianut sedemikian taat oleh keluarga saya, bahkan keluarga besar. Memang menurut penuturan Aria Wiratma Yudhistira dalam bukunya yang berjudul “Dilarang Gondrong”,  pada masa Orde Baru ada kebijakan yang melarang para pemuda untuk berambut gondrong. Entah apa  dasar awal Soeharto membuat kebijakan tersebut , dan entah apa juga kecurigaan yang ada di otak Soeharto pada saat itu yang kemudian dari kecurigaan itu muncul semacam keterdesakan di dalam diri Soeharto yang menjadikannya membuat kebijkan tersebut, itu masih misteri. Sudah barang tentu  ayah saya adalah seseorang yang lahir dan tumbuh berkembang  pada masa Orde Baru, otomatis dia termasuk produk Orba yang bercirikan militer. Belum lagi dengan basic kakek saya yang seorang Militer, maka mau tak mau paham Dilarang Gondrong produk Orba menjadi semacam kewajiban untuk dianut oleh ayah saya. Kesimpulan tersebut saya hasilkan setelah cukup banyak berdebat tentang rambut gondrong dengan ayah saya.

Otomatsi, dengan paham Dilarang Gondron produk Orba itu, saya selaku anak dari ayah saya yang dididik dan tumbuh berkembang pada masa Orba termanifestasilah semacam larangan untuk berambut gondrong kepada saya dari ayah saya. Padahal, jika dipikir sehat, apa salahnya berambut gondrong? Sehina itukah yang berambut gondrong sehingga dilarang? Saya rasa tidak. Setahu saya agama tak mengatur perihal rambut di kepala. Tak ada ayat-ayat Qur’an dan Hadist yang melarang berambut gondrong. Boleh cek satu-persatu. Yang diwajibkan adalah berpenamlilan rapih. Pertanyaan yang muncul adalah tidak rapihkah yang berambut gondrong? Saya rasa tidak. Menjadi semacam hal menggelikan ketika gaya rambut menjadi patokan standar sebuah kerapihan seseorang. Seperti patokan berpakaian rapih adalah dengan selalu menggunakan kemeja dengan celana bahan yang kemejanya selalu dimasukan kedalam celana. Paham berpakaian rapih ini masih banyak dianut oleh guru-guru dan dosen-dosen dimana pun itu, baik di Indonesia tercinta maupun di Dunia. Menjadi hal yang lucu sekaligus aneh perihal standar kerapihan berpakaian tersebut. Bagaimana tidak, kita hidup di Indonesia yang beriklim tropis yang cuacanya cenderung panas dituntut untuk berpakaian yang katanya rapih tersebut. Tidakkah terasa gerah dengan gaya berpakaian seperti itu? Tidakkah terasa panas berpakaian seperti itu? Entahlah saya tidak tahu, tanyakan kepada mereka yang bergaya pakaian seperti itu.

Kembali kepermasalahan perihal berambut gondrong yang dilarang ayah saya. Ketika saya bertanya kepada ayah saya kenapa sebigitu tidak sukanya beliau melihat anaknya berambut gondrong, beliau menjawab sederhana bahwa sangat tidak cocok dan terlihat kumuh ketika saya berambut gondrong. Dan ketika saya lontarkan pertanyaan kembali yaitu sekumuh orang gilakah? Beliau diam dan tak bisa menjawab. Entah mungkin ayah saya belum menghafal sehingga tidak bisa menjawab pertanyaan saya yang kedua atau mungkin ayah saya salah menghafal sehingga tidak bisa menjwab pertanyaan saya yang kedua, saya juga tidak tahu. Tanya saja langsung kepada beliau jika kebetulan bertemu di jalan atau berpapasan dimana saja.

Kemudian saya juga menanyakan sebuah pertanyaan kepada ayah saya, yang mungkin beliau juga lupa akan pertanyaan saya ini. Saya pernah menanyakan kepada beliau bahwa pentaskah seorang polisi atau tentara berambut gondrong? Beliau tidak menjawab hanya tersenyum sinis, yang kemudian itu saya artikan sebagai jawabannya yang berarti tidak pantas. Kemudian saya kembali bertanya, pantaskah seorang anak yang berkuliah di sebuah fakultas yang berlabel sastra yang mengambil prodi ilmu sejarah yang kelak akan berkutat akan kesejarahan dan kebudayaan berambut cepak ala polisi atau tentara? Beliau sontak menjawab pantas-pantas saja, karna menurutnya tidak ada salahnya seorang sastrawan, sejarawan, atau budayawan berambut cepak ala polisi atau tentara. Kemudian saya juga berkata kepada beliau bahwa polisi dan tentara juga pantas-pantas saja berambut gondrong karna tidak ada salahnya juga untuk polisi atau tentara berambut gondrong. Beliau diam dan pergi begitu saja. Saya anggap diam dan kepergiannya itu sebagai kekalahan.

Apa salahnya berambut gondrong dan apa hinanya berambut gondrong?  Saya rasa tidak ada jawaban untuk kedua pertanyaan itu, kecuali ada asumsi lain yang bersifat individu dari sesorang perihal rambut gondrong. Saya juga berencana akan memberikan tulisan ini kepada ayah saya perihal kebijakannya yang sangat mustahil dan tidak kuat argumentasi. Tujuan tulisan ini adalah membuat ayah saya sadar bahwa sedikit-banyak asumsinya terhadap rambut gondrong adalah pengaruh Orba yang terhitung telah 13 tahun berlalu. Dan juga jika saya memiliki sedikit rejeki saya akan membelikan buku dari Aria Wiratma Yudhistira yang berjudul “Dilarang Gondrong” untuk beliau baca. Buku tersebut menjelaskan bagaimana propaganda yang dibuat Soeharto untuk membuat diam rakyatnya agar patuh dan tunduk kepadanya agar tidak memberontak pemerintahannya untuk melanggengkan otoritasnya melalui sebuah kebijakan yang lucu, yaitu melarang berambut gondrong.

Tulisan ini juga bukan bermaksud untuk saya sebagai anak melawan kepada ayah sebagai orangtua, tapi bermaksud untuk saya sebagai anak berusaha mengajak berfikir logis dan tidak egois kepada ayah sebagai orang tua.

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 1 Desember 2011 pukul 19:49

0 komentar

Jatuh berjatuhannya Dedaunan

Setiap pagi, hampir disetiap harinya. Saya tak pernah melewatakan cahaya matahari yang baru beberapa jam saja terbit. Ada semacam tuntutan yang mewajibkan saya untuk berangkat pagi yang berimbas saya dapat menikmati pagi yang indah yang sering diabadikan oleh banyak Penyair, Pujangga, Sastrawan dalam setiap karyanya. Itu membuktikan bahwa pagi memang sangat dahsyat nan luarbiasa. Entahlah, mungkin tulisan ini pun saya tulis sebagai sebuah pengejawantahan yang saya rasakan terhadap indahnya pagi. Tapi mungkin tidak sebagus yang diejawantahkan oleh para Penyair, Pujangga, Sastrawan dalam karya-karya mereka.

Banyak cara  dari setiap orang untuk menikmati pagi, ada yang berjoging, ada minum kopi sambil membaca Koran, ada yang membersihkan halaman pelataran rumah mereka, bahkan ada yang tidur kembali hanya untuk sekedar menikmati pagi. Dari bermacam cara untuk menikmati pagi yang ada diatas, sebenarnya saya sangat cocok dengan yang kedua dan terakhir, yaitu menikmati pagi sambil meminum kopi dan membaca Koran dan kembali tidur. Karna dengan hangatnya kopi sejuknya pagi akan menjadi lebih sempurna ditambah dengan beberapa informasi terbaru dari Koran yang sejalan beriringan dengan setiap tegukan kopi. Dan yang terakhir, sejuknya pagi adalah ninabobo terbaik yang Tuhan ciptakan untuk membuat setiap insannya tidur kembali. Setidaknya kedua pendapat diatas menurut saya pribadi.

Disetiap paginya, ketika saya memasuki pelataran tempat saya menuntut ilmu. Banyak sekali fenomena pagi yang indah yang tertangkap mata. Jika saya mempunyai semacam alat yang bisa mengabadikan hal tersebut semisal kamera, mungkin telah ribuan atau bahkan jutaan foto yang ada berkat fenomena dipagi hari di pelataran tempat saya menuntut ilmu itu.

Fenomena atau pemandangan yang disuguhkan sangat beragam dan bermacam-macam. Semisal berjatuhannya daun-daun tua yang dihempas angin pagi, butiran-butiran embun yang terhisap masuk ke dalam paru-paru, dan yang paling mengharukan dan sekaligus membuat malu diri pribadi adalah para pembersih halaman atau pelataran kampus yang memang telah diperintahkan oleh pimpinan kampus untuk membersihkan halaman atau pelataran kampus.

Memang sebuah kebijkan yang cukup bagus dari pimpinan kampus untuk mempekerjakan mereka. Selain memberi lapangan pekerjaan kepada penduduk sekitar yang memang membutuhkan tambahan keuangan, juga mungkin bertujuan membuat mahasiswa malu melihat para orangtua yang membersihkan pelataran kampus mereka. Padahal yang berkuliah kita (mahasiswa) bukan mereka, tapi yang membersihkan mereka. Mereka disana bukan menuntut ilmu atau nongkrong, tapi lebih dari itu yaitu mengabdi kepada Alam untuk senantiasa merawatnya. Sangat luarbiasa.

Mungkin maksud para pimpinan kampus itu baik, yaitu tadi memberi lapangan pekerjaan bagi penduduk sekitar. Tapi menurut saya ada semacam kesalahan vital dari maksud baik yang dimaksudkan oleh para pimpinan kampus. Yaitu saya –sebagai mahasiswa disana dan mahasiswa lainnya– dibuat menjadi acuh dan tak peduli akan lingkungan sekitar, karna otak berasumsi “toh ada yang membersihkan ini”. Yang imbasnya, asumsi ini akan terus dibawa kemana-mana, dan di tempat lain (bukan hanya di pelataran kampus), perilaku yang ada diasumi tersebut akan dilakukan, yaitu acuh dan tak peduli akan lingkungan sekitar. Walau memang tidak semua mahasiswa berasumsi seperti itu. Tapi saya sangat yakin, sangat yakin sekali, seyakin saya  terhadap hari kematian, bahwa banyak yang berasumsi demikian, Wallohualam.

Marilah kita cintai alam dan berkaca kepada mereka yang mengabdi kepada alam. Sayangi alam dan lingkungan kalian, seperti kalian menyayangi Blackberry atau Android kalian. Alam dan lingkungan akan lebih canggih dari pada Blackberry atau Android jika dipelihara dan dijaga.

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 26 November 2011 pukul 8:40

0 komentar

Menjadi Malas Menulis, Mari Kembali Menulis

Menulis memang pekerjaan yang mudah, jika dibandingkan dengan menghitung atau membagi ratusan angka menjadi tinggal beberapa angka saja. Menulis juga pekerjaan yang sangat mudah jika dibandingkan dengan mengangkat beton seberat satu ton untuk dipindahkan beberapa meter saja. Walaupun menulis mudah, tapi malasnya tiada tara. Semalas kita berbuat baik, semisal membantu nenek-nenek menyebrang atau menuntun orang buta. Ah, mungkin membantu nenek menyebrang atau menuntun orang buta itu bukanlah malas tapi malu, malu dilihat orang, malu karna anggapan  bahwa itu pekerjaan yang tak ada gunanya, dan malu karna telah dibisiki setan. Mungkin untuk menulis pun menjadi sangat malas karna telah dibisiki setan. Bahkan, anak muda yang kebanyakan malas melaksanakan ibadah sholat, mereka lebih memilih melaksanakan sholat daripada menulis. Tapi saya rasa memang seharusnya begitu, karna kata banyak pemuka agama Islam sholat itu wajib hukumnya, sholat itu tiangnya agama, dan sholat itu banyak ditegaskan di Al-Qur'an dan As-Sunnah. Tentunya bagi pemuda-pemuda yang Muslim dan merasa Muslim.

Mungkin dilihat dari judulnya, tulisan ini akan menjadi semacam motivasi untuk pribadi atau orang-orang yang kebetulan membaca tulisan ini agar menjadi mau dan sudi untuk menulis, menulis apapun itu. Tapi sayang sekali karna pribadi saya yang kurang atau bahkan tidak suka dimotivasi dan memotivasi maka tulisan ini pun hanya sekedar menjadi semacam iseng saja dan sekedar sebagai pemancing. Mengapa saya tidak suka dimotivasi dan memotivasi? Jawabannya adalah karna saya kurang atau malah tidak menyukai seorang motivator handal (katanya) yang sering ada di layar TV yang berinisial MT atau biar sekedar lebih jelas yang bernama Mario Teguh. Saya menjadi sangat tidak suka dimotivasi ketika saya telah banyak membaca buku psikologi perihal motivasi. Disetiap buku psikologi yang saya baca itu jelas dijelaskan bahwa motivator terbaik itu adalah diri sendiri dan tugasnya seorang motivator itu adalah untuk menuntun kita agar bisa menjadikan diri sendiri sebagai motivasi dan kembali bersemangat menjalani hidup. Tapi anehnya, ketika saya mendengar kata-kata motivasi indah yang keluar dari mulu MT, saya tidak mendapatkan tuntunan itu, yang saya dapatkan adalah sebuah kecanduan untuk mendengarkan kata-kata motivasi indah dari mulutnya. Dan MT saya yakin sadar betul akan hal itu. Hasil dari kesimpulan saya adalah bahwa MT cenderung menguangkan kata-katanya dan malah mematikan diri kita untuk bisa memotivasi diri sendiri agar kita dibuat ketergantungan pada kata-kata motivasi indahnya. Maka dari itu saya menjadi sangat malas mendengar apa-apa yang berbau motivasi dari orang lain, karna toh saya bisa memotivasi diri sendiri, saya hanya berbuka lebar akan saran tidak motivasi. Sudahlah, biarkan urusan motivasi menjadi urusan orang-orang yang patah semangat dan menjadi urusan MT dan motivator-motivator lainnya. Kata banyak pemuka agama, membicarakan orang lain itu tidak baik.

Mungkin lebih tepatnya tulisan ini hanya sekedar sebagai pemancing saja. Pemancing agar diri saya menjadi sudi untuk menulis kembali dan tidak bermalas-malasan kembali untuk menulis. Karna saya pun kemarin-kemarin pernah menulis bahwa jika menulis diibaratkan sebagai makan dan minum, maka sekarang ini saya telah mati dan penyebab kematiannya dalah kelaparan dan kehausan.

Tulisan ini juga sebagai penyemangat agar saya lekas menyelesaikan tugas-tugas kuliah saya, yang menjelang UAS bulan Desember nanti semakin banyak dan tak kira-kira. Ternyata seperti inilah bagaimana horornya tugas-tugas menjelang UAS di PTN, yang sebelum-sebelumnya saya hanya bisa menertawakan teman-teman saya yang di PTN dan sekarang menjadi terasa begitu horor, sehoror wajah Andhika Kangen Band, itu pun jika dia masih hidup. Wallohualam..

Mungkin pada kepercayaan orang-orang Romawi dan Yunani ada dewa-dewa menulis, begitu pun pada orang-orang Jepang dan Cina. Karna saya seorang Muslim dan saya penganut Monoteisme. Jadi tak mungkinlah saya percaya adanya dewa-dewa menulis. Hanya saja seru dan unik membaca perihal mitologi-mitologi dari Romawi, Yunani, Jepang dan Cina. Terdapat nilai sejarah dan mitos yang sangat luarbiasa, yang dapat membuat perut senam dan berkeringat.

Semoga Allah SWT dapat memberikan wahyuNya dan sedikit semangat bagi saya hambaNya yang kecil, kumuh, kotor, dan terus berusaha berbuat kebaikan agar tidak lagi malas menulis dan bersegera lekas menyelesaikan tugas menjelang UAS yang tak kira-kira banyaknya. Padahal banyak moment-moment istimewa yang telah saya lalui yang tak sempat tertuliskan (karna malas), semisal perjalanan ketika saya ke Jogja, menghadiri acara di Universitas Gadjah Mada, mendapatkan sahabat-sahabat baru yang mengasyikan disana, dan juga ketika saya ke pergi Baduy 6 bulan yang lalu. Tapi karna malas apa boleh buat. Semoga dikemudian hari tidak seperti demikian, semoga Allah mendengar permohonan saya dan segera mengabulkannya. Semoga.

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 23 November 2011 pukul 21:06

0 komentar

Dua Puluh Tiga Lebih Dua Puluh Menit Pertengahan Malam

Segepok gerumulan bayangan,

tidak serupa kabut juga awan.

Melayang indah di kamar,

mengisi ruang-ruang kosong di atas kepala,

tidak indah tapi mengesankan.

Debu-debu dan sejumlah sampah sisa pembakaran menghiasi.

Tidak pula kemudian membuat diri terasa bersih.

Seiring malam yang terus merayu mengajak bercumbu,

libido terus terangkat menuju umbun kepala,

menunggu pecah porak-poranda.

Suara dentuman jarum jam pun ikut merayu,

merayu mengajak terbang ke alam tak berbatas.

tidak kencang juga tidak pelan.

Menatap menyaksikan wajah yang bisa membuat tenang,

selalu tentram dan nyaman dibuatnya.

Ingin rasanya meludahi,

meludahi layar monitor yang tersemat wajah tersebut.

Akhirnya aku,

tidak senang juga tidak bahagia.

*Cicalengka 17 November 2011.

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 17 November 2011 pukul 23:21

0 komentar

Saya, Jam Dinding dan Malaikat

Ada semacam kegelisahan yang muncul di dalam diri ini. Entahlah, saya sendiri pun tidak tahu, entah berawal dari pikiran atau nurani yang memulai. Yang pastinya, kegelisahan ini membuat diri takut, lupa dan ciut akan apa pun. Sering saya dengar satu kalimat bijak yang entah berasal dari siapa, sejak kapan dan dari mana kalimat itu brasal. Yang pasti kalimat bijak ini selalu ampuh untuk membuat diam orang bodoh yang terus bertingkah "sok tahu" atau membuat diam tingkah orang yang "sok baik". Kalimatnya pun cukup bijak dan memiliki makna yang dalam. Kesimpulan saya bahwa orang-orang yang langsung terdiam ketika mendengar kalimat bijak ini adalah mereka tidak mengerti, sama seperti saya. Kalimatnya adalah "Hidup memang tragedi, tapi komedi bagi mereka yang berfikir". Kalimat yang sangat bagus, terkandung sebuah makna yang luarbiasa di dalamnya. Tapi satu kekurangannya, apa maksud dan pada siapa kalimat itu ditujukan? Seperti apa standar orang yang tidak berfikir yang dimaksudkan kalimat tersebut juga tidak jelas. Tragedi dan komedi yang dimaksud pun seperti apa, sangat kabur dan tidak jelas. Tapi ketika mendengar kalimat tersebut, kita solah-olah bangkit dibuatnya, tidak lagi berkkeluh kesah, seakan-akan tersindir oleh kalimat tersebut yang menyatakan bahwa kita itu orang yang tidak berfikir. Ah, pusing. Biarkan urusan apa maksud kalimat tersebut, kepada siapa kalimat tersebut dituju, dan makna tragedi dan komedi dalam kalimat tersebut menjadi urusan para filsuf atau tidak para sastrawan.

Akibat dari kegelisahan yang muncul tersebut adalah apa-apa yang ada di depan mata semisal peluang, kesempatan dan lain hal dibuatnya saya menjadi takut untuk menghadapinya. Peluang, kesempatan dan hal lainnya yang akan membuat saya berkembang, tak bisa untuk dicapai. Akibat dari kegelisahan tersebut. Jiwa ini takut dibuatnya, nyali menciut, melebur dan lalu menguap, setelah itu hilang, hilang dibawa angin, entah ke Laut Timur atau Laut Selatan yang pasti hilang dan lenyap.

Jika menulis itu dapat diibaratkan seperti makan dan minum, maka seharusnya saat sekarang ini saya sudah mati dan penyebab kematiannya adalah kelaparan dan kehausan. Makan dan minum adalah sebuah kegiatan pokok untuk menunjang kita hidup setiap detiknya. Jika kita tidak makan dan tidak minum maka raga akan lemah, semua anggota badan bergetar, aliran darah terhambat, dan lama kelamaan kita akan mati. Makan dan minum itu adalah suatu penunjang hidup, tetapi hanya menunjang raga saja. Sedangkan kita hidup tidak hanya cukup melalu raga saja. Hidup itu adalah dengan raga dan jiwa. Lantas, ketika makan dan minum adalah hanya menunjang raga lalu bagaimana dengan jiwa? Makan dan minumnya jiwa adalah dengan beribadah, mendekatkan diri kepada Yang Kuasa, bersembah diri kepadaNya, menyembahNya, mengikuti semua perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Konon, kata para pemuka agama bahwa dengan kita seperti itu adalah makan dan minumnya jiwa.

Jiwa dan raga adalah dua komponen kehidupan dan kita dituntut untuk membuat keduanya seimbang, Jika tidak, kita akan kehilangan kontrol terhadap apapun. Ketika jiwa kita sehat tapi raga sakit-sakitan maka tinggal tunggu waktu saja kita dijemput oleh malaikat kematian. Dan ketika raga kita sehat tapi jiwa kita mati - karna tak diberi makan dan minum -, maka lebih baik ambil semacam bebesian lalu sematkan ke tangan dan banting-bantingkan ke kepala. Akan lebih bermanfaat nampaknya.

Mungkin kegelisahan itu muncul disebabkan oleh sudah lama saya tidak menulis dan terus berleha-leha dan berlenggang tak tahu diri. Belakangan ini, ada semacam kesalahan saya dalam belajar dan cara pandang saya kepada sebuah institusi tempat saya belajar. Tujuan utama saya belajar dan berada di institusi tempat saya belajar pun sudah melenceng dan lari menjauh entah kemana. Yang imbasnya adalah institusi tempat saya belajar pun menjadi semacam status untuk sebuah eksistensi pada lapisan sosial bukannya dijadikan sebagai motivasi belajar dan mendapatkan pengalaman.

Untung, sangat beruntunglah saya pada saat itu. Pada saat otak sedang berkelumat berperang antara yang ini dan yang itu. Tiba-tiba diri tersadangkan, tersadarkan oleh sebuah tepukan yang menepuk pundak. Oh, rupanya Malaikat yang menepuk saya, menepuk pundak sebelah kanan saya. Bukan hanya menepuk, tapi disitu malaikat mengingatkan saya, menceramahi saya dan kembali meluruskan apa yang salah yang telah saya lakukan. Saya kira malaikat tersebut ingin menncabut nyawa saya, ah rupanya tidak. Niat malaikat tersebut baik dan malah mengingatkan saya. Selama sepuluh menit empat puluh sembilan detik malaikat mengingatkan saya. Saya ingat betul, karna ketika malaikat berceramah, posisi saya tepat menghadap kepada jam dinding yang ada di kamar saya. Belum lama malaikat berhenti berceramah, kira-kira beberapa detik saja. Malaikat itu menghilang, menghilang dengan sekejap. Belum sempat saya berkenelan, bercerita dan juga belum sempat saya mengucapkan terimakasih, malaikat tersebut telah hilang, hilang dalam sekejap.

Jam dinding di kamar terus bergerak, tidak cepat dan juga tidak lambat.

Tulisan ini pun mungkin sebagai ucapan terimakasih kepada malaikat, yang pada saat itu tak sempat terucapkan. Kegelisahan hilang ketika malaikat telah memberikan ceramahnya. Selain sebagai ucapan terimakasih kepada malaikat, mungkin tulisan ini juga sebagai bentakan kepada diri sendiri, hinaan, cacian, cibiran kepada diri sendiri.

Demikianlah saya berbicara dengan diri saya sendiri. Bukan hanya berbicara, tapi mencaci diri sendiri, menghina, mencibir, dan membentak diri sendiri dalam tulisan ini.

03 November 2011, 01.51

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 5 November 2011 pukul 15:00

0 komentar

Gila Segila-gilanya!!

Pena ditangan dibuang, dilempar ke langit hitam, masam dan menusuk.

Buku dilempar, disobek menjadi butiran butiran halus, seukuran embun pegunungan.

Jari patah mematah, tangan terbakar nafsu.

Ah, aku gila segila-gilanya..

Sampah dimakan, makanan disampahi,

Gila segila-gilanya..

Karna sampah yang menyampah.

Sampah,

sampah,

sampah,

sampah.

Air coberan lebih bernilai dibanding sampah,

bagi gelandangan yang kehausan karna keserakahan mahluk berdasi tak bermoral.

Sampah itu, menantang mengajakku bermain.

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 31 Oktober 2011 pukul 22:32

0 komentar

Orang-orang Mulia

Mereka yang tegar, tabah, dan kuat.

Membuat jiwa ini dengan kondisi fisik yang lengkap merasa malu, hina, dan tak bisa berbuat apa-apa.

Mereka mondar-mandir, berjalan sangat berhati-hati, terkadang dipapah oleh tongkat.

Orang-orang yang kata Rendra sama berasal dari kemah Ibrahim.

Dengan kondisi pontang panting dan compang camping,

tak menyurutkan mereka untuk menatap matahari di hari esok.

Ah, bukan menatap tapi merasa.

Orang-orang mulia yang masih percaya dan menaruh hati pada pemerintah.

Ingatlah..

Tuhan ada menuntun kalian,

setan takut akan kalian,

malaikat menderu haru melihat kalian,

dan aku, aku malu terhadap kalian..

Selesai.

Rancaekek, Oktober 30, 2011.

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 30 Oktober 2011 pukul 20:32

0 komentar

Menyampah Sampah

Setitik nanah dari neraka, tak akan membuat susu menjadi manis kemanisan.

Sampah, sampah itu hinggap kembali.

Entahlah, orang banyak merasakan apa yang aku anggap sampah ini dengan kegembiraan.

Rasa senang, mereka ceria, seolah-olah menggemgam dunia.

Tapi bagiku menakutkan.

Seolah senang, tapi ada semacam permainan yang dilakukan setan bersama akal pikiran.

Hati nurani menjadi korban mereka.

Ah, entahlah.

Takut, menciutnya keberanian.

Sebagaiman melihat sampah. Iya, sampah.

Dan sepakatlah aku, untuk tidak bermain sampah.

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 27 Oktober 2011 pukul 1:00

0 komentar

Mari Menulis

Lama rasanya, lama sekali tidak mencorat-coret kata yang disusun menjadi sebuah tulisan. Jangan sampai mulut busuk iblis yang membisikan kemalasan untuk menulis hinggap di telinga yang juga tidak kalah busuknya. Busuk akan hal-hal yang kotor yang sengaja terdengar atau pun tidak. Apa mungkin kemalasan itu muncul dari mata yang juga kotor atau mulut yang memang kotor dan busuk baunya karna berbicara sesuka hati yang tidak sengaja menyakiti perasaan oranglain. Entahlah, tak tahu.

Mata yang seharusnya digunakan untuk banyak membaca, karna pengaruh iblis bisa menjadi malas semalas-malasnya untuk membaca. Mulut apalagi, entah karna pengaruh iblis atau tidak, saya merasa sangat sulit untuk mengontrol perkataan, untuk berkata baik sesuai standar yang berlaku menurut norma, baik itu norma agama atau pun sosial. Entahlah, mungkin itu pengaruh mengapa saya menjadi malas membaca atau menulis.

Sangat luarbiasa memang kata-kata yang terucap saat kita berbicara, bisa me-ninabobo-kan kita dalam apapun. Contoh mudah saja, dengan banyaknya pemimpin kita yang kemampuan berbicara dalam orasinya telah membuat kita tertipu dan percaya begitu saja akan perkataan mereka. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa memilih pemimpin itu bukan dari bagaimana mereka berbicara tapi bagaimana mereka bekerja. Pemimpin apapun itu, baik sebuah institusi besar maupun kecil.

Kita menulis adalah konsekuensi kita karna kita membaca, dan kita membaca adalah konsekuensi kita karna kita belajar. Maka jika kita belajar ada semacam keharusan yang mendorong kita untuk membaca, dan ketika membaca akan sangat sayang sekali jika kita tidak menulis, karna apa yang kita tulis kebanyakan adalah poin-poin yang dulu pernah kita baca. Adanya juga yang menulis karna kegelisahan dari apa yang ia lihat di lingkungan sekitar, maka dari apa yang ia gelisahkan tersebut ia tuangkan melalui sebuah tulisan, dengan mencantumkan catatan-catatan kritis sendiri dalam apa yang ia tulis. Biasanya, yang memulai menulis dari sebuah kegelisahan adalah kebiasan seorang wartawan atau jurnalis. Para wartawan atau jurnalis juga menulis dari hasil mereka membaca. Tapi perbedaannya adalah apa yang mereka baca tidak seperti apa yang kita kenal. Mereka membaca lingkungan sekitar, mereka membaca realaitas yang sedang terjadi. Jadi membaca tidak melulu membaca buku, lingkungan dan realitas pun bisa kita baca. Kegelisahan yang mereka dapati itu adalah buah dari mereka membaca lingkungan dan realitas sekitar. Lantas, apakah hanya wartawan saja yang berhak begitu? saya rasa tidak, semua orang berhak menulis apa yang ia gelisahkan, baik itu gelandangan atau pun presiden sekalipun. Tapi presiden tidak mungkin menulis, bisa presiden cuma bicara, terbukti untuk menulis hasil rapat saja butuh sekertaris, gawat sekali jika presiden seperti itu , hina sekali. Entahlah, entah mungkin itu adalah sebuah kode etik dalam tata cara rapat kepresidenan, atau apapun, biarkan itu menjadi urusan mereka.

Poin penting untuk menulis bukan bagaimana kita menuangkan sebuah kegelisahan ke dalam sebuah tulisan, tapi bagaimana kita mendapatkan keinginan untuk menuliskan kegelisahan ke dalam sebuah tulisan. Nampaknya, mulut bau iblis telah berhasil me-ninabobo-kan keinginan itu. Dengan nafsu busuknya, iblis berhasil mecuri keinginan kita untuk menulis dan menawarkan semacam kegiatan yang cendrung lebih santai dan foya-foya daripada kita menulis. Maka keinginan yang belum didapat tersebut hilang dan digantikan dengan kegiatan yang disuguhkan iblis tersebut. Konon kegiatan yang iblis suguhkan tersbut terkenal dengan sebutan Hedonisme. Entahlah, saya pun tidak terlalu mengetahui seperti apa itu Hedonisme, karna sangat banyak sekali penjelasan mengenai itu dengan segala macam argumentasinya masing-masing yang terlihat ada semacam kepentingan yang dibawa-bawa dalam penjelasannya. Biarkan itu menjadi urusan mereka yang ahli dalam bidangnya.

Misalnya, contoh dekat saja. Untuk menulis tulisan ini pun sudah sangat malas, padahal baru beberapa paragraf yang tertuliskan. Ketika mengetahuinya, mungkin iblis akan tertawa terbahak-bahak, dan menyaksikan saya yang menulis dengan kemalasan tingkat tinggi sambil menyantap cemilan semacam keripik kentang dan ditemani jus buah, ada orang yang berkata bahwa konon iblis sangat suka jus buah. Tapi entahlah, itu hal yang abstrak yang bersifat empiris, semu, sulit sekali dijelaskan dan diterima, biarlah itu menjadi urusan para pemuka agama.

Mungkin juga, kesulitan untuk kita menulis adalah dari kekurangannya kosakata yang kita miliki, maka timbul semacam kesulitan untuk kita merangkainya ke dalam sebuah kalimat. Atau keterbatasan waktu yang kita miliki untuk hanya sekedar menulis. Tapi jika dipikirkan, para penulis buku pun sibuk, para akademisi yang giat menulis pun sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Tapi mengapa mereka bisa menulis dan berkarya, tidak seperti para pemimpin kita yang memang sibuk, tapi kesibukan yang terlihat dan banyak di ekspos media adalah kesibukan mereka ketika mereka berknjung ke luar negri yang katanya akan ada semacam kerjasama yang harus dibicarakan. Entalah biarkan itu menjadi urusan para wartawan dan pemerhati politik di luar sana.

Banyak berdiskusi juga akan sangat membantu kita dalam mendapatkan kosakata untuk dituangkan kedalam tulisan yang akan kita tulis kelak. Tapi sangat dsayangkan sekali, budaya berdiskusi telah sangat jarang terjadi dan telah berganti dengan semacam kegiatan-kegiatan lainnya. Ah, lagi-lagi iblis disini berhasil mempengaruhi kita dengan mulutnya yang bau busuk untuk memaksa mengikuti apa yang dia inginkan. Padahal tidak ada salahnya kita berdiskusi, banyak ilmu disana. Tak tahulah, biarkan saja mereka yang tak gemar berdiskusi.

Berbaur dengan alam juga mungkin sangat akan membantu kita. Bukan hanya membantu kita untuk menulis, tapi membantu kita juga untuk meyadari siapa kita sebenarnya. Memaksa kita untuk meminta maaf kepada alam yang telah kita rusak. Memaksa kita untuk tidak berprilaku sewenang-wenang terhadap alam. Tapi lagi-lagi, kaebanyakan dari kita lebih memilih berkeliling berjam-jam di Mall dari pada berada di alam selama lima menit saja. Entah itu pengaruh dari rayuan busuk iblis atau memang manusia yang berprilaku seperrti iblis gemar berkeliling tak jelas di sebuah Mall. Etahlah, sadari saja sendiri dan tanyakan pada diri sendiri.

Semoga Tuhan selalu melindungi kita dari godaan busuk iblis dengan mulutnya yang kotor dan bau. Semoga Tuhan sekiranya sudi menyuruh malaikat untuk terus menjaga kita dari segala godaan iblis yang kotor dan bau. Tuhan mana pun itu, semoga Tuhan selalu sudi untk melindungi kita. Semoga!

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 18 Oktober 2011 pukul 12:34

0 komentar

Puisi : "Ku Paksa Kau Untuk Muntah"

Dengan kemauan yang tak mau

Setan senang melihatnya

Dengan kesenangan yang tak senang

Malaikat murka mendengarnya

Ku ambil sesuatu

Jari-jemari memberontak

Tapi apa kemampuan akal dan nurani yang tak kuasa lagi berteman dengan malaikat

Nafsu berkuasa dengan setan sebagai temannya

Ku paksa kau untuk muntah

Selesai.

22-sept-11. Jatinangor

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 24 September 2011 pukul 11:36

0 komentar

Puisi Sudjiwo Tedjo

"Berlayarlah di laut keringat kami

Tertawalah di laut keringat kami

Berselancarlah di laut keringat kami

Perpesiarlah di laut keringat kami

Bergerak, bergerak, tetap bergerak, menderap langkagh, merapat barisan

Bergerak, bergerak, tetap bergerak

Berat kita junjung, ringan kita jinjing

Bergerak, bergerak, tetap bergerak

Berlumur keringat dan air mata

Berlayarlah di laut keringat kami

Tertawalah di laut keringat kami

Berselancarlah di laut keringat kami

Perpesiarlah di laut keringat kami

Bersabar, bersabar kita sejak dulu

Amuk kita timbun, munjung bagai gunung

Bersabar, bersabar kita sejak dulu

Amuk kita tunda, gunung tak meletus

Bersabar, bersabar kita sejak dulu

Sejak dulu nahan sejuk bagai gunung

Pesta poralah di gunung kesabaran kami

Dansa dansilah di gunung kesabaran kami

Injak-injakkan kakimu di gunung kesabaran kami

Buang botol-botol minummu di gunung kesabaran kami

Bersabar, bersabar, sampai habis sabar

Sabar jadi riak, riak jadi ombak

Bersabar, bersabar sampai habis sabar

Bergelora gelora begunung gunung ombak

Gulungan gelombang keringat tangisan kami

Hati-hati jangan kau terlena di laut tangis kami

Hati-hati jangan kau ha ha hi hi di laut keringat kami

Awas, awas, awas di gunung kesabaran kami

Mawas mawas dirilah di gunung kesabaran kami."

#Puisi diatas tak sengaja saya temukan ketika sedang searching lagu Sudjiwo Tedjo. Saya juga tidak mengetahui apa judul puisi diatas. Apa yang disampaikan Sudjiwo Tedjo dalam puisinya adalah sebuah kritik dalam masalah perpolitikan. Tepatnya mengkritik kinerja pemerintah yang cenderung asik-asikan dengan keadaan rakyat yang sengsara. Menurut saya, yang dilakukan oleh Sudjiwo Tedjo termasuk kedalam semuah Demonstrasi, hanya saja dalam bentuk yang berbeda dan elegan. Seharusnya mahasiswa-mahasiswa yang mengaku berintelektual pun ikut berdemo, tapi demonstrasi yang sekarang sering terjadi dan dilakukan sudah tidak zaman lagi. Berdemolah melalui karya, semisal tulisan atau puisi atau bahkan melalui film bagi mereka yang cukup memiliki biaya. Jangan menjadi rakyat yang apatis, jangan juga jadi rakyat yang mau terus-terusan dibohongi. Jika bisa menulis sepatah atau dua patah kata untuk status di jejaring sosial semisal Facebook atau Twitter. Mengapa tidak mencoba menulis yang lebih berguna semisal tulisan atau puisi, tentunya tulisan dan puisi yang kritis pula. Para Penulis dan Sastrawan juga berkarya tergerak dari kegelisahan mereka melihat lingkungan sekitar, seperti contoh puisi diatas. Tedjo gelisah akan perilaku pemerintah, maka dari itu dia berdemo melalui puisi, karna mungkin dia merasa mampu membuat puisi. Maka dari itu gelisahlah akan keadaan di lingkungan sekitar, lalu tuangakan kegelisahan terhadap sebuah karya. Jadilah rakyat yang kritis dan tidak apatis. Karna menurut Karl Marx juga, jika manusia tidak berkarya apa bedanya dia dengan sebuah batu. Memulai berkarya dengan umur yang muda tidak ada ruginya menurut saya.

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 21 September 2011 pukul 22:39

0 komentar

Dewa Bukan Tuhan

Ada berapa Tuhan kah yang mereka sembah?

Ah tidak, bukan Tuhan yang mereka sembah tapi Dewa.

Kenapa Dewa?

Apa Tuhan tidak cukup Maha Perkasa untuk mengurusi Bumi yang kecil ini,

dibandingkan dengan luasnya alam semesta.

Bukannya kita sekarang berada di dalam masa Atheisme dan Panteisme?

Athesime dengan tidak percaya kepada Tuhan,

dan Pantheisme yang percaya Tuhan berada lebih dekat daripada urat nadi kita sendiri.

Lantas kenapa Dewa bukan Tuhan?

bukankah masa Paganisme telah berlalu dengan waktu yang sangat lama dibelakang kita?

Ternyata,

Dewa yang mereka sembah,

bukanlah apa yang ada pada paradigma kita ketika kita mendengar kata Dewa itu sendiri.

Pantas bukannya Tuhan tetapi Dewa.

Kertas-kertas sampah yang mereka beri nilai mereka puja.

Dawai-dawai berirama indah mereka sembah,

Benda-benda besi canggih yang mereka ciptakan sendiri mereka agung-agungkan.

Mereka lupa akan hakikat manusia untuk berTuhan hanya kepada satu Tuhan.

Mereka pun berjanji,

akan membawa Dewa-Dewa mereka sampai mereka menjadi mayat.

Selesai.

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 19 September 2011 pukul 20:10

0 komentar

Defenisi Insomnia menurut Azmil R Noel Hakim

Setiap malam itu adalah sebuah kenikmatan, karna malam adalah waktunya beristirahat dan bersantai-santai layaknya di pantai. Setiap orang yang memiliki aktifitas pasti sangat mendambakan malam hari. Tapi tidak hanya orang yang beraktifitas saja yang mendambakan malam hari. Orang yang nganggur juga mendambakan malam hari, tapi bedanya orang yang nganggur menggunakan malam hari untuk beraktifitas. Bingung yah, katanya nganggur tapi beraktifitas. Sama saya juga bingung, lupakan saja. Yang saya maksud beraktifitas disini adalah sesuatu yang menghasilkan, entah itu menghasilkan karya atau apapun, misalnya uang dan lain hal. Nah, sedangkan orang yang nganggur itu mereka juga berakatifitas, mereka punya kesibukan sama halnya dengan yang beraktifitas. Cuma menurut saya bedanya adalah orang yang nganggur itu aktifitasnya tidak menghasilkan karya atau uang atu apapun. Malam hari itu bagi orang nganggur adalah waktu buat mereka beraktifitas, pagi dan siang harinya mereka gunakan untuk istirahat. Maka dari itu orang yang nganggur juga mendambakan malam hari, tapi itu bedanya, malam hari buat orang yang nganggur digunakan untuk hal yang berbeda.

Tapi, ada sebagian kecil orang yang beraktifitas tidak mendambakan malam hari. Malam hari bagi mereka adalah siksaan, karna sebagian besar orang dimalam hari beristirahat sedangkan mereka terjaga, dan pagi harinya harus kembali beraktifitas. Nah konon katanya yang seperti itu adalah penyakit, namaya Insomnia. Saya juga kurang paham bagaimana penjelasan ilmiahnya, karna jujur saya bukan anak fakultas kedokteraan atau faklutas psikologi. Tapi menurut kabar burung, katanya yang menderita insomnia itu adalah orang terdapat banyak kafein di dalam tubuhnya. Kafein itu sejenis zat, yang kebetulan saya juga tidak tahu secara rinci zat apakah kafein itu, dari mana asal kafein itu, dan siapa orang tua kafein itu. Karna jujur saya bukan anak kimia dari fakultas farmasi. Tapi konon katanya kafein itu beasal dari minuman sejenis Kopi atau Teh, juga terdapat di dalam rokok. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang menderita insomnia itu adalah orang yang gemar terhadap tiga hal yang disebutkan diatas. Tapi jadi muncul beberapa pertanyaan dari kesimpulan diatas, seperti; bapak saya juga ngerokok tapi tidurnya pulas? atau, kakek saya juga sering minum teh, sehari 3 kali malah kayak minum obat, tapi kok dia tidurnya nyenyak? Nah, kembali lagi kepada hal yang tadi bahwa saya bukan anak fakultas kedokteraan atau fakultas psikologi maka dari itu saya juga tidak tahu apa dan bagaimana penjelasannya. Lebih baik lupakan saja. Karna tidak baik mengingat-ingat hal yang tak penting.

Realita disekitar kita juga mengatakan bahwa kebanyakan yang menderita Insomnia itu mahasiswa. Kenapa? Saya juga tidak tahu, tapi kata paman saya realita seperti itu sudah terjadi sejak lama dan berkelanjutan sehingga menjadi sebuah budaya bagi mahasiswa. Subhanalloh yah penjelasan paman saya, maklum beliau dosen. Nah kebetulan saya juga terkadang menderita insomnia. Jika di persentasikan kedalam angka kira-kira 20% kemungkinan saya menderita insomnia dalam setiap minggunya. Jangan tanya dari mana saya dapat menghasilkan persentasi angka tersebut, karna saya hanya mengira-ngira atau berspekulasi. Maklum saya bukan anak fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam atau disingkat MIPA. Tapi saya beruntung, karna bukan hanya saya saja yang menderita insomnia, rata-rata teman saya juga menderita insomnia, mau teman saya yang mahasiswa sampai ke teman saya yang berjualan cimol juga sekalipun (cimol itu sejenis jajanan yang terbuat dari aci yang ada disekitar Jawa Barat), tapi teman saya yang berjualan cimol itu insomnianya tuntutan karna harus membuat adonan aci untuk dijadikan cimol yang harus dia jual keesokan harinya, kasian yah temen saya yang satu ini, tapi cimolnya enak lho, serasa humberger.

Saudara saya juga menderita insomnia bahkan insomnianya sudah parah karna hampir disetiap malamnya dia insomnia. Saudara saya juga seorang mahasiswa, dia kuliah di salah satu universitas swasta di Bandung yang basicnya tentang komputerisasi. Tapi belakangan dia bertingkah aneh, belakangan ini dia gemar membaca. Fenomena itu menjadi sangat aneh ketika saya melihat dia membaca di depan mata saya sendiri. Sampai-sampai saya ternganga selam sepuluh detik. Dan selang beberapa menit (kira-kira 10 menit) dia langsung terbaring nyaman dalam tidur. Ini lebih aneh lagi, karna dia bisa tertidur dengan nyenyaknya dan tidak insomnia. Dan akhirnya, saya pun mendapat penjelasan ketika di pagi harinya, ternyata dia membaca itu bukan karna dia sadar bahwa membaca itu penting tapi karna membaca itu bisa membuatnya tertidur. Subhanalloh seketika saya sujud syukur serta mengucapkan Alhamdulillah mendengar penjelasannya.

Nah, saya pun mencoba menerapkan metode dari saudara saya itu ketika saya sedang menderita insomnia. Mula-mula saya mulai membaca ketika dirasa ngantuk tapi tak dapat tertidur. Tapi apa yang saya dapat, yang saya dapat hanya mata berair dan tidur pun tak kunjung tiba. Tapi saya tidak menyesal, karna buku yang saya baca ternyata seru dan mengasyikan, dan saya pun sadar karna itulah saya jadi semakin tidak bisa tidur. Buku yang saya baca adalah buku yang berjudul “dari puncak Bagdad” tulisannya Tamim Anshary seorang sejarahwan muslim internasional. Buku tersebut menceritakan tentang sejarah dunia dalam kacamata islam. Sangat seru isi yang dipaparkan dalam buku tersebut, bahasa yang digunakannya juga sederhana dan menggelitik. Saya sarankan anda sekalian untuk membaca buku tersebut, bagaimanapun caranya. Contohnya saya, saya juga pinjam dari teman saya.

Insomnia memang sebuah fenomena yang cukup unik, sampai-sampai Efek Rumah Kaca band Indie asal Jakarta pun mengabadikannya menjadi sebuah lagu disalah satu album mereka.

Sampai saat sekarang pun saya belum tahu bagaimana caranya melawan insomnia dan membuat saya  tertidur pulas. Saya juga sudah mencoba menulis, alih-alih supaya dapat tertidur, tapi kenyataannya masih belum bisa tidur. Akan tetapi saya tidak kehabisan ide, saya ambil gitar, tentunya untuk dimainkan bukan untuk dibanting-banting seperti gitaris band metal atau rock ibukota, walaupun gitar saya suaranya pas-pasan dan lusuh, malah jika dibandingankan gitar saya dengan batu berlian pun masih bagusan emas 24 karat. Tapi tetap saja saya tidak bisa tidur.

Jadi saya pun menghibur diri dan menarik kesimpulan tentang insomnia lalu membuat definisinya. Bahwa (menurut saya) orang yang menderita insomnia itu adalah orang yang sulit untuk tidur, dan yang menyebabkan sulit tidur itu dikarnakan otak kita yang masih bekerja dan berfikir. Dan orang yang memperkerjakan otaknya untuk terus berfikir adalah orang yang cerdas, maka dari itu orang yang menderita insomnia atau sulit untuk tidur adalah orang yang cerdas. Begitulah kira-kira bunyi defenisi saya tentang insomnia yang bermaksud untuk menghibur diri.

Tapi perlu digarisbawahi bahwa orang yang tidak insomnia itu bukan berarti tidak cerdas atau orang yang gemar mabuk-mabukan atau doyan clubbing yang insomnia itu cerdas. Bukan, bukan begitu maksud saya. Defenisi insomnia diatas hanya untuk diri saya sendiri dan untuk anda-anda sekalian yang setuju saja. Karna berpendapat dan menetukan pilihan itu dilindungi oleh Undang-Undang. Dan juga defenisi insomnia diatas bersifat spontinatif yang tidak ditangguhkan. Maka dari itu niscahya tidak akan anda temukan di dalam buku-buku yang berkaitan tentang insomnia manapun.

Selesai.

#Cicalengka, 06-Agustus-2011 02.13.

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 6 September 2011 pukul 13:07

0 komentar

Secangkir Obat Tidur

Setengah dari isi cangkir itu,

mengandung nikmat seribu tahun.

Isi yang berwarna keruh,

tanpa cerah setetes pun.

Tegukan demi tegukan,

mengalir lembut tanpa paksaan.

Tanpa protein dan vitamin,

hanya caffein dan nikotin.

Secangkir obat tidur,

mengalir dengan lentur.

Selesai.

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 28 Agustus 2011 pukul 13:35

0 komentar

Seumpama Nenek Lampir

Semburan suaranya bak petir yang menggelegar,

telinga tercabuli mendengarnya,

disela-sela ia berbicara,

tersembur cairan berbahaya,

seumpama racun dunia.

Isi yang ia bicarakan,

tak ubahnya sampah di pelataran,

seumpama nenek lampir,

yang sedang menyapu pelataran.

Selesai.

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 22 Agustus 2011 pukul 16:30

0 komentar

Sedikit komentar untuk SBY dan Partainya

Kita sama-sama tahu SBY itu adalah presiden kita tercinta. Pemillu tahun 2009 kemarin membuktikan bahwa Dia masih dipercayai oleh setengah lebih rakyat Indonesia untuk memimpin negara. Bagaimana tidak, saingannya Megawati sama Jusuf Kalla. Mereka berdua dulu masih kalah pamor sama SBY.

Kendaraan SBY adalah Partai Demokrat. Pada saat pidato pembukaan Rakornas beberapa waktu lalu, dengan emosi yang meluap-luap dia bilang bahwa Partai Demokrat telah tumbuh pesat dalam satu dasawarsa ini. Saya pun lekas berfikir, betapa mudahnya dia memapankan sebuah partai baru dan membawanya langsung ke posisi puncak. Saya pun berkesimpulan mungkin itu memang sudah takdir dan usaha keras yang dia lakukan. Di bulan ramadhan seperti sekarang ini kita harus banyak berkhusnuzon.

Pertama kalinya SBY meluncur bersama kendaraannya itu adalah pada saat pemilu tahun 2004 yang lalu. Dengan pasangannya dari Golkar Jusuf Kalla. Sangat luarbiasa, ternyata SBY dengan partai baru dan pasangan barunya berhasil memenangkan pemilu yang notabenenya itu adalah pemilu pertama, dimana pemungutan suara dilaksanakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Dan dengan terpilihnya SBY maka secara tidak langsung partai Demokrat pun melenggang ke posisi puncak sebagai partai yang berkuasa.

Dahulu itu, SBY sempat menjadi Mentri dalam kabinetnya Gotong Royongnya Megawati, yaitu sebagai Mentri Kordinator Politik dan Keamanan. Tapi tidak terlalu lama dia menjabat sebagai Mentri di kabinet Megawati, tak sepaham katanya. Maka posisi sebgai Mentri Kordinator Politik dan Keamanan pun di ganti oleh Hari Sabarno pada tanggal 12 Maret 2004.

Pemilu tahun 2009 kemarin, SBY mencalonkan diri kembali sebagai Presiden, tapi kini dia mengangkat Boediono sebgai pasangannya, sementara Jusuf Kalla tidak mau kalah. Beliau turut ikut mencalonkan diri dan meramaikan pemilu sebagai calon Presiden dengan Wiranto sebagai pasangannya. Maklum, pada saat itu Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Golkar, "gengsi dong kalau ga nyalonin diri sebagai presiden" gumamnya dulu didepan media massa. Pasangan satu lagi adalah Megawati dan Prabowo Subianto. Megawati dengan PDIPnya sedangkan Prabowo dengan partai barunya yaitu Gerindra.

Alhasil, pemilu tahun 2009 kemarin pun dimenangkan oleh SBY-Boediono. Nampaknya masyarakat masih percaya dan masih mengandalkan sosok yang bernama SBY. Tapi tidak lama setelah kemenangan SBY dalam pemilu kemarin, kasus-kasus yang meyangkut dirinya maupun wakilnya mulai bermunculan dan tingkat kepercayaan masyarakat pun menurun secara drastis. Sampai kasus yang terkahir dan masih hangat adalah kasus yang menyangkut Partainya dan kader-kadernya.

Yaitu kasus Nazaruddin yang konon katanya terlibat dalam kasus suap Sesmenpora. Adalah Mahfud MD ketua MK yang pertama kali membuka kasus Nazaruddin, yang mengaku gerah akan tindakan Nazaruddin yang memberika sejumlah uang kepada Sekretaris Jenderal MK yaitu Djanedri Gaffar yang membuatnya angkat bicara. Para kader Demokrat pun sontak panik dan bertingkah kekanak-kanakan dengan saling menyalahkan antar kader dan berbicara bohong. Sangat memalukan mengingat mereka adalah politisi dari partai yang berkuasa. Kasus Nazaruddin pun ramai diperbincangkan dan semakin membuat gerah Partai Demokrat. Ketika diketahui Nazaruddin sedang berada di Singapura, maka Demokrat pun mengakui telah membentuk tim penjemput untuk menjemput Nazaruddin. Akan tetapi, setelah beberapa lama, tim penjemput pun kembali dan Nazaruddin tak kunjung kembali ke Indonesia. Maka sontak menjadi pertanyaan bagi seluruh rakyat Indonesia dan juga Media di Indonesia. Tak lama berlalu kemudian DPP Partai Demokrat pun melaksanakan konfrensi pers menganai perihal penjemputan Nazaruddin tersebut. Yang lucunya, Anas Urbaningrum mengaku bahwa tim yang diutus partai Demokrat itu bukanlah tim untuk penjemputan Nazaruddin tapi hanya tim yang di utus untuk berkomunikasi dengan Nazaruddin, "hanya sekedar untuk menanyakan kabar dan keadaan Nazaruddin saja" gumam Anas Urbaningrum kepada media. Lucu bukan? memang lucu, sangat lucu malah, jadi semakin terlihat bahwa meraka sedang sangat ketakutan.

Kasus yang mendera partai Demokrat pun membuat sejumlah tokoh gatal untuk angkat bicara. Semisal Adnan Buyung Nasution contohnya. Beliau berkomentar dan menantang SBY untuk melakukan perbaikan di dalam partai demokrat dan jika dia (SBY) masih lamban, maka saran Adnan Buyung adalah meletakan jabatannya sebagai presiden. Saya sangat suka dan setuju akan saran dan tantangan yang dilontarkan oleh Adnan Buyung Nasution itu, mengapa bukan beliau saja yang jadi presiden kita.

Belum lagi kontroversi yang dibuat oleh Marzuki Alie ketua DRP yang juga sebagai wakil ketua dewan pembina partai Demokrat. Yang menyatakan untuk membubarkan KPK dan memaafkan Koruptor. Saya jad berfikir dan berkesimpulan bahwa jangan-jangan Marzuki Ali pun seorang kopuptor yang takut tertangkap KPK. Dan tingkah aneh yang dilakukan oleh kader Demokrat yang lainnya. Seperti yang dilakukan oleh Sutan Batoegana yang membuat pernyataan kontroversial dan terbukti bohong perihal penjemputan Nazaruddin dan juga tidak ada ucapan maaf kepada seluruh rakyat Indonesia. Yang sungguh sangat memalukan dan membuat turun citra partai Demokrat.

Saya sih senang dan sangat gembira dengan turunnya kepercayaan masyarakat kepada SBY dan Partai Demokrat. Kenapa? karna jujur saya bosan melihat SBY dengan gayanya yang sok tenang dan kalem. Dan juga karna sudah waktunya saja untuk SBY jatuh dan meletakan jabatan, jika tidak ya negara kita akan terus dipermainkan oleh SBY. Seperti yang dikatakan oleh kader senior partai PDIP AP Batubara "Memang, sekarang negara Indonesia telah menjadi mainan SBY dan partai Demokrat". Sedih bukan jika memang kenyataannya seperti itu dan memang sekarang sudah mulai terasa hawa-hawa menuju kesana. Maka dari itu bersegeralah sadar diri dan bertobat wahai Presiden tercinta. Indonesia bukan mainan, Indonesia adalah sebuah negara yang konon katanya berdaulat.

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 3 Agustus 2011 pukul 12:12

 
;