Ketika itu kami berlima berjanji akan berdiskusi bersama. Kami pun berpikir keras untuk menetukan waktu yang tepat untuk melaksanakan sebuah pertemuan sakral tersebut. Mengapa sakral? Karna kami akan melaksanakan sebuah diskusi terlarang. Dan dalam diskusi yang akan kami laksanakan nanti, kami akan menyusun sebuah rencana yang akan membangkitkan sebuah arwah, untuk meneror Presiden SBY dan memaksanya untuk turun. Ah, sayang sekali, rupanya itu hanya sebuah khayalan pribadi saya yang tak akan mungkin terjadi. Sebanarnya, diskusi yang akan kami lakukan adalah diskusi seputaran tentang Filsafat, Logika, Bahasa, Politik, Sejarah, dan lainnya lagi, pokoknya diskusi tentang yang berbau Filsafat bukan berbau angka. Tidak seperti, Albert Einsten yang gemar dalam bermain angka. Justru kami berlima diberi suatu berkah yang sangat luarbiasa oleh Allah SWT, karna kami tidak diberi gemar dan suka terhadap angka, seperti Matematika, Fisika dan lainnya. Mengapa kami bersyukur? Ya, itu sangat jelas kami bersyukur, karna setiap apa yang diberi dan dianugrahkan Allah SWT itu wajib kita syukur, sekali pun itu hal yang tidak kita inginkan dan tidak menyenagkan.
Akhirnya kami pun mendapat kesepakatan, dan menyepakati untuk berdiskusi di Braga pada hari Minggu tanggal 15 bulan Mei tahun 2011. Dan kebetulan di Braga sedang berlangsung pameran buku-buku islam. Yang berlangsung dari tanggal 11 hingga tanggal 17. Akan tetapi sangat disayangkan sekali salah satu dari kami tidak bisa mengikuti diskusi yang sakral dan penuh dengan ilmu tersebut. Dia adalah saudara Rizal. Karna kesibukannya sebagai reporter yang ditugaskan ke Banda di pulau Sulawesi sana. Semoga sukses tugasmu kawan. Kami disini menunggu oleh-oleh yang kau beli disana. Karna Rizal tak bisa hadir, maka kami putuskan untuk tetap melaksanakan diskusi walaupun berempat. Kami yang terdiri dari, Saya, Sena, Kakak Endang dan Kakak Iman pun telah berbulat hati dan berkuat tekad untuk melaksanakan diskusi sambil mencari-cari buku untuk bahan-bahan penulisan artikel untuk mengisi blog yang kami miliki. Walaupun saya dapat melihat sebuah ketidaknyamanan dari masing-masing, karna ketidakhadiran saudara Rizal. Saya pun tak mau ikut berlarut-larut dalam kesedihan seperti mereka, saya manilpulasi ekspersi wajah saya dan mencoba enjoy, walaupun pada akhirnya itu semua sia-sia dan tidak berkerja, tapi setidaknya saya telah berusaha.
Akhirnya, waktu yang dijanjikan pun tiba. Kami berjanji pada waktu itu untuk berkumpul tepat jam 1 di kampus. Dikarnakan pada waktu itu hujan lebat, dan dikampus sedang terjadi hajatan akbar yaitu Musyawarah Daerah, maka waktu pun mulai kedodoran seperti sebuah celana yang kebesaran. Kedodorannya pun melebar dan terus melebar. Yang pada akhirnya kami pun berangkat ke Braga pada jam 4 sore.
Tak lama, kami pun tiba di tempat pameran. Kami langsung berbaur dengan puluhan orang yang sedang membeli, mencari, atau bahkan hanya sekedar melihat-lihat saja. Saya pribadi pun statusnya hanya sampai pada tahap melihat-lihat. Karna berhubung dengan budget yang tak ada, yang kebetulan di dalam dompet saya yang tersisa hanya 2 lembar kertas. Lembar pertama adalah kertas yang bertuliskan Seribu Rupiah dengan gambar sang Kapitan Patimurra yang gagah yang tak kunjung memberikan senyumannya, dan lembar salanjutnya adalah lembar kertas tanda bukti pengambilan uang di bank. Ya, maka dari itu mengapa saya katakan saya hanya sampai pada tahap melihat-lihat saja. Waktu yang berlangsung dalam pameran cukup lama. Hamper tiga jam kami berada disana. Berhubung kami berempat adalah orang yang bisa dibilang gemar membaca dan bisa dibilang juga minim budget. Maka, moment semacam pameran buku tersebut adalah sebuah momentum yang sangat berharga nan langka, yang tentunya tak akan kami sia-sia kan. Walaupun hanya sedetik.
Ada kejadian yang lucu pada waktu itu di pameran. Yaitu, di pameran tersebut kehadiran seseorang yang sangat biasa namun orang-orang mengartikannya begitu lebay, maka membuat suasana di dalam pameran tersebut menjadi tidak sehat dikarnakan kehadiran orang tersebut. Orang tersebut yaitu penulis Novel “Ayat-ayat cinta”, Kang abik sapaan akrabnya. Mengapa saya katakana tak sehat? Karna disana sudah terjadi semacam pengkultusan yang berlebihan yang seharusnya tidak terjadi. Mengapa? Ya karna dia orang yang biasa saja. Kita sama-sama makan nasi, sama-sama solat wajib 5 kali sehari (itupun kalau dia solatnya rajin), sama-sama mahluk yang bernama manusia. Hanya saja dia sedikit beruntung karna tulisannya yang berbentuk novel banyak yang membaca. Malahan, teman saya Sena berkata kepada kakak Endang, kurang lebih seperti ini “Mau ngapain dia kesini, tak penting” kurang lebih begitu ujarnya. Yang menyedihkannya lagi, dia (kang Abik), dijadikan alat oleh subuah stand disana untuk melariskan buku-buku mereka. Gumam saya pun dalam hati “kasian kau Abik, dijadikan alat”. Dan mereka pun berhasil. Stand mereka laris manis, ramai oleh pengunjung yang ingin berfoto, meminta tanda tangannya, dan lainnya. Mengapa saya sangat yakin mengatakan bahwa dia dijadikan alat. Karna, salah seorang yang ada di stand sana berkata seperti begini “mumpung diskon, dan kebetulan ada kang Abik, bisa foto-foto dan bukunya ditanda tangani”, dari kalimat tersebut saya bisa mengambil kesimpulan, bahwa untuk berfoto bareng dan mendapat tanda tangannya, kita harus membeli buku dulu. Ah tak penting. Kasian, dia cape-cape buat novel bagus, ujung-ujungnya di jadikan alat juga.
Kami pun memutuskan untuk segera keluar dari tempat itu, karna atmosphir didalam sudah tidak sehat, lagipula kami sudah mendapatkan buku yang diinginkan. Sebelum pulang, kami pun melaksanakan diskusi. Di depan Bank Mandiri dan di samping pos satpam. Kakak Imam memesan kopi, karana ngobrol tanpa diskusi hampa, seperti malam tanpa bintang. Dan kebetulan hujan pun turun dan seperti ingin ikut berdiskusi berdiskusi bersama.
Tak lama, datang seorang ibu. Yang menanyakan sebuah novel yang sedang di pegang oleh Sena. Dan kebetulan Novel tersebut milik Kakak Iman. Ibu tersebut sepertinya seorang ibu yang cerdas, berwawasan luas, ekspresif dan komunikatif. Dan terbukti lah bahwa ibu tersebut memang seorang yang berkepribadian asik dan menyenagkan. Dan ibu tersebut bernama bu Vivera, kepanjangannya Vivera Siregar. Kami pun mulai ngobrol dan berdiskusi. Bertukar number telepon dan account facebook. Dan kita pun mulai berbincang tentang apa saja. Sampai pada beliau membuka diskusi tentang kasus Ariel yang kemarin-kemarin sedang ramai dibicarakan. Sangat luarbiasa, begitulah kesan yang kami rasakan saat berbincang-bincang dengan bu Vivera. Dan ternyata bu Vera bekarja di Dinas Kebudayaan Prancis dan mengajar disana, tapi belakangan ini beliau keluar dari sana. Dan ketika ditanya apa alasannya, beliau hanya berkata “ya, saya merasa bukan jiwa saya unutk bekerja disana”, jawaban yang sangat bijaksana. Kami pun saling bertukar informasi mengenai buku-buku atau novel-novel yang kami ketahui. Dan perbincangan pun semakin menarik dan megesankan.
Perbincangan semakin seru dan menarik ketika kami mengetahui bahwa ibu Vera bekerja yang behubungan dengan analisis Tulisan Tangan, atau bahasa kerennya Grafologi. Sebuah ilmu pengetahuan untuk menganalisa karakter seseorang melalui tulisan tangannya. Yang kalau tidak salah Grafologi tersebut berasal dari Prancis dan Abbe Jean Hyppolyte Michon sebagai bapak Grafologi berhasil menghimpun katalog-katalog yang penuh dengan tanda-tanda grafis dan ciri keteraturannya. Ibu Vera pun menceritakan pengalaman-pengalamannya dari setiap pasiennya. Pasiennya kebanyakan anak-anak muda yang berumur 25-35 yang sudah lulus kuliah dan merasa tidak nyaman akan pekerjaannya dan ada juga pasiennya ibu-ibu yang kesulitan dalam mendidik anak-anaknya dan yang belum mengetahui karekter anak-anaknya. Kami pun semakin antusias dan sangat enjoy akan pengetahuan yang kami dapat dari ibu Vera. Dengan bahasa yang komunikatif nan ekspresif ibu Vera tak sungkan membagi pengalamannya dan ilmu pengaetahuannya.
Dan saya pun tak sabar untuk dianalisa tulisan tangan saya untuk mengetahui bagaimana karakter saya. Sebetulnya saya pun ragu dan merasa segan untuk meminta dengan ikhlas kepada ibu Vera untuk menganalisa tulisan tangan saya. Tapi, rasa itu pun saya kesampingankan dulu berhubung sangat sulitnya mencari seorang Grafolog yang ramah, baik hati, berwawasan luas dan mudah senyum. Dan akhirnya permintaan saya pun dikabulkan. Saya pun mulai mengeluarkan buku yang ada tulisan saya untuk beliau analisa.
Jujur, ketika menanti analisis ibu Vera. Saya merasa deg-degan tak karuan. Walaupun saya tahu analisis yang akan keluar adalah analisis yang berbau negative ketimbang positif. Tapi sekali lagi, pikiran buruk itu segera saya hilangkan. Dan menanti analisa ibu Vera tersebut.
Dan analisa pun dimulai. Ibu tersebut berkata bahwa saya seorang yang tidak sabaran, dan berpikir cepat. Alasan ibu tersebut mengapa saya orang yang tidak sabaran karna saya adalah orang yang berpikir cepat dan cenderung sulit jika berbicara dengan lawan bicara yang tidak berpikir secepat saya. Maka dari itu ibu Vera mengatakan saya orang yang tidak sabaran. Lalu, ibu Vera mengatakan bahwa saya sangat mahir dalam berbicara tanpa memerlukan teks, sangat mahir, sehingga ibu Vera mengeluarkan kalimat mahir dua kali sebagai penegasan. Ketika ibu tersebut mengatakan hal tersebut. Secara spontan saya langsung teringat akan wajah Adolf Hitler yang mahir dalam berpidato dengan emosi yang meluap-luap. Mungkinkah saya seperti itu, ah lagi-lagi hanya khayalan, khayalan tanpa teori. Seperti yang dikatakan oleh kakak Iman. Bahwa dalam berkhayal dan bermimpi pun kita harus menggunakan teori, untuk lebih menajamkan pemikiran kita dan lebih runcing dalam mengkritik. Sungguh sangat luarbiasa saya memiliki teman-teman. Seperti kakak Iman beliau sangat mahir dalam menganalisa bahasa dan lainnya. Tokoh favoritnya Jurgen Hebermas. Dan kakak Endang, yang sangat mahir dalam dialektika, logika dan hal-hal yang berbau nalar-menalar dan juga dala memanipulasi, kakak Endang lah guru saya. Sena, dengan filsafat islamnya dan pemahaman terhadap bahasa Arab yang mendalam. Dan Rizal yang pakar terhadap hal yang berbau teknologi informatika, dengan karakter dia yang berkemauan keras dan tak pantang menyerah. Saya pun merasa sebagai seorang yang diberi fasilitas yang luarbiasai untuk mengenbangkan ilmu pengetahuan dan kegemaran yang saya minati dengan kehadran teman-teman yang luarbiasa ini.
Kembali kapada analisa dari Ibu Vera. Beliau juga mengatakan bahwa saya orang yang gemar melanggar peraturan dan cenderung memberontak. Ah, lagi-lagi ibu Vera betul, tepat sekali. Kemudian ibu Vera juga mengatakan saya orang yang ceroboh, akibat dari berpikir cepat dan cepat mengambil kesimpulan. Lalu ibu tersebut juga berkata bahwa emosi saya Fluktuatif. Dan lagi-lagi yang ia katakana betul. Lalu saya orang praktis, tidak menyukai hal-hal yang ribet. Dan ibu Vera juga mengatakan saya orang yang gampang bosan. Sungguh luar biasa. Saya seperti mendengarkan Mama Lauren sadang meramal. Tapi, ini berbeda, yang dipaparkan ibu Vera itu berladaskan ilmu pengetahuan. Bukan mitos-mitos seperti dongeng yang sering dipaparkan Mama Lauren. Memang Mama Lauren, seharusnya lebih cocok menjadi pendongeng bukan peramal. Karana setiap yang ia paparkan seperti dongeng dan membuat saya ngantuk dan tertidur. Luarbiasa memang dongeng yang Mama Lauren paparkan dulu ketika ia masih hidup, berhasil membuat saya tertidur. Bahkan ibu saya saja tidak mampu. Amazing!
Ibu Vera pun mengatakan bahwa saya adalah seorang pribadi yang tidak memiliki tergetan yang tinggi, terlihat dari huruf “T” yang saya tulis. Saya pun mengakui itu. Bahwa saya orang yang tidak suka bersaing, pemalas dan memiliki targetan biasa saja. Lalu, ibu Vera pun mengatakan bahwa saya orang yang gampang membludag emosinya, terlihat dari penulisan huruf “D” saya. Kata beliau, itu disebabkan oleh ketidaksabarab saya dalam mengahadapi orang-orang yang tidak berpikir cepat, dan sudah tidak sabar menahannya. “ah, lagi-lagi Anda benar ibu”, gumam saya dalam hati. Lalu ibu Vera pun berkata, saya adalah orang yang tidak banyak teman, dikarnakan saya orang yang suka menyendiri dan membutukan waktu lama untuk dekat dengan seseorang.
Pada initinya, semua yang dikatan oleh ibu Vera setelah menganalisa tulisan tangan saya adalah benar adanya. Saya mengucapkan terimakasih atas analisisinya, dan terimaksaih atas perbincangannya. Semoga ada waktu lagi untuk berdiskusi dengan kami bu. Kami sangat sedang dengan obrolan yang menyenangkan dengan ibu. Yang membuat kami lebih termotivasi lagi. Sena, Kakak Endang, Kakak Iman dan saya sangat senang akan obrolan yang menyenangkan nan berkesan itu. Sayang sekali teman kami Rizal tidak hadir dalam kesempatan luarbiasa kemari. terimakasih Ibu Vera, Nice talking with you.
oleh Azmil R. Noel Hakim pada 17 Mei 2011 pukul 11:09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar