Sabtu, 14 Januari 2012

CerPan

Berawal dari cerita seorang wanita yang kerap kali di sapa ibu oleh adik-adikku. Beliau bercerita dengan nada biasa tanpa ekspresi dengan rasa haru yang sangat luarbiasa yang terpancar dari kedua lubang hidungnya yang berukuran normal layaknya sebagaimana manusia normal lainnya.

Cerita beliau dimulai pada saat kurang lebih 21 tahun yang lalu, sebagaimana gadis normal pada waktu itu yang sudah bisa disebut matang untuk menempuh sebuah mahligai rumah tangga, muncul sebuah keinginan dalam benaknya untuk berumah tangga, akan tetapi yang menjadi kendalanya adalah siapakah yang akan beliau jadikan suami, karna pada saat itu dengan bangga nya beliau bercerita dan masih dengan ekspresi yang sangat lebai  beliau menuturkan pacar beliau pada saat itu tidak mendapat persetujuan dari ayahandanya tercinta alias kakek saya, entah apa alasannya karna sampai saat tulisan ini ditulis pun saya masih belum mendapat kejelasan.

Alhasil, ibunya yang sekaligus nenek saya, dengan naluri keibuan yang sangat luarbiasa dapat mengerti apa yang diinginkan oleh beliau. Dan masih menurut cerita yang diceritakan oleh beliau, ketika nenek saya sedang membereskan halaman rumahnya, lewatlah seorang pria yang biasa dengan perawakan sedang dan tampang pas-pasan seolah menghipnotis dan memanipulasi kedua mata nenek saya, dan dengan sangat kebetulan pula pria tersebut adalah tetangga rumah keluarga beliau dan ayah pria tersebut adalah teman curhat dari ayah beliau. Karna alasan kedekatan emosional antar kedua keluarga lah mereka memutuskan untuk menikahkan kedua putra-putri mereka, dan pada saat itu adalah waktu yang sangat berbahagia bagi kakek dan nenek saya tidak untuk ibu saya. Tapi pria yang kini menjadi ayah saya termasuk orang yang sangat beruntung karna telah menikahi ibu saya dan berhasil dengan suksesnya menghasilkan anak yang dapat memperbaiki keturunan beliau dari sisi perawakan dan tampang yang sangat lebih bagus dari beliau. hhahah

Dan mahligai rumah tangga yang diinginkan oleh ibu saya pun telah dapat dirasakan, ketika perjalanan rumah tangga mereka baru seumur jagung datang lah sebuah kabar gembira yaitu mereka akan segera mendapatkan anak, ya anak pertama mereka, anak pertama  mereka yang akan mengaharumkan nama baik keluarga mereka kelak, dan akan menjadi kebanggaan.

Tujuh bulan telah berlalu dari sejak kabar baik itu datang, ibu saya pun mulai mengalami ketidaknyamanan didalam perutnya yang besar itu, mahluk yang ada didalam perutnya tersebut seakan memberontak ingin keluar dan ingin menyalahi aturan alam yang telah ada, ibu saya pun panik sepanik panik nya dan dalam tempo yang sesingkat singkatnya pula beliau dengan sangat histeria berteriak sekeras kerasnya, dan segaralah dengan sangat bijak ayah saya membawa beliau kerumah sakit setempat.

Dan jeng jeng, lahirlah anak pertama mereka yang bertepatan pada pukul 19.10 tanggal 9 pada bulan 9 juga dan untung tidak pada tahun 1999 tapi pada tahun 1991. entah sebuah kesengajaan atau memang tidak disegaja angka sembilan mendominasi pada kelahiran anak pertama mereka, dan ada satu lagi sebuah fenomena biasa tapi menjadi fenomena aneh bagi mereka yaitu anak pertama mereka adalah cucu laki-laki pertama dari kedua belah pihak baik ibu saya maupun pihak ayah saya. Dan anak tersebut itu adalah saya sendiri.

Beberapa bulan berlalu dan sang anak itu pun sangat di manja baik oleh kedua orangtuanya ataupun oleh kakek neneknya. segala sesuatunya di spesialkan, sampai beberapa tahun berlalu dan anak pertama itu pun mempunyai adik, akan tetapi anak tersebut terus dan masih merasa risih dengan tingkah laku yang sungguh sungguh lebai kepadanya, untuk pergi bermain saja susah dengan berbagai macam alasan yang sangat primitif nan konservatif, yang menjadikan karakter anak tersebut pemalas, pemalu, pesimis dan selalu berfikir kemungkinan negatif.

Ketika sang anak pertama tersebut memasuki bangku sekolah dasar, kedua orangtuanya pun sangat berharap kepada dia agar dapat mengharumkan nama baik keluarga, dan menjadi contoh yang baik untuk adiknya. Dan tahun-tahun berlalu prestasi cemerlang pun tak kunjung dapat dihasilkan, itu menurut mereka tapi tidak bagi sang anak tersebut alias saya sendiri, saya merasa bangga karna berhasil meraih rangking keempat pada saat kelas 4 sekolah dasar, dan memang itu menjadi kenangan indah tersendiri bagi saya karna hanya pada saat itu lah saya berhasil menerobos rangking 5 besar. Akan tetapi bagi mereka rangking empat biasa saja tak terlalu membanggakan.

Tahun-tahun pun berlalu dan sang anak tersebut pun kini sudah memasuki bangku SMA dan tumbuh menjadi lelaki remaja sebagaimana remaja-remaja normal lainnya. Tapi anak tersebut mulai merasa harus berubah menjadi lebih baik lagi, dan beliau pun berhasil merubauh dirinya yang dari  sebelumnnya pemalu, menjadi malu-maluin tapi tetap pemalas dan pesimis, setidaknya itu sebuah prestasi yang sangat luarbiasa bagi dirinya sendiri. Dan prestasi pun terus dia ukir tapi prestasi yang berkonotasi negatif, seperti contoh bolak-balik keluar ruangan BP, diusir dari ruangan belajar oleh guru saat proses belajar-mengajar berlangsung(untuk yang satu ini adalah hal yang paling saya sukai, karna bisa tidur di kantin dengan bebas sebebas bebasnya haha), di hukum didepan kelas, membuat guru kesal hingga menangis dan banyak prestasi lainnya lagi.

Masa SMA tersebut menjadi masa yang sangat berarti bagi anak tersebut, karna menjadi sebuah batu loncatan bagi anak tersebut. Bisa di bilang hal yang menuntun anak tersebut menjadi begitu adalah oleh kegemarannya membaca buku-buku sejarah atau artikel-artikel sejarah, dan puncaknya pada saat dia mengenal sosok yang sangat beliau kagumi yaitu Adolf Hitler, dia merasa sangat dekat dengan Hitler, merasa sangat akrab, padahal zaman mereka sangat jelas berbeda, bahkan dia mengklaim bahwa Hitler adalah kakeknya sendiri haha. Dan prestasi-prestasi itu pun dia dedikasikan untuk diri sendiri, sedangkan orangtuanya pun sudah bisa dibilang lelah dan letih untuk menasehatinya, karna setiap apa yang mereka katakan  selalu di balas dengan lantang dan argumentatif olehnya, dan alhasil waktu makan atau waktu berjumpa dengan kedua oratua adalah menjadi waktu berdebat untuknya dan sebagai sarana untuk melatih skill berdebatnya.

Dan setelah lulus SMA, gaya mendidik otoriter pun masih diberlakukan oleh kedua orangtuanya sampai-sampai untuk jurusan yang akan ditempuh olehnya dalam masa perkuliahan pun ikut mereka atur, alhasil si anak pun kuliah dengan jurusan yang tidak dia kehendaki dan merasa seperti seekor kura-kura yang sedang belajar terbang, dia bukannya tak mau berdebat atau beradu argumentasi kepada orangtuanya, akan tetapi dia merasa sudah dewasa dan itu akan menyinggung perasaan kedua orangtuanya.

Dan sang anak pun merasa aneh, karna benda yang ada didalam kepalanya yaitu benda yang seringkali disebut otak itu, menjadi benda yang palin aneh baginya. Bagaimana tidak otak yang ia miliki adalah otak normal dengan ukuran standar dan sama seperti otak yang dimiliki oleh Albert Einsten, tapi sangat berbeda jauh akan fungsinya, jika sel-sel otak Einsten bekerja lebih cekatan mungkin sel-sel otak yang ada pada anak itu bekerja dengan santai sambil meminum kopi dan mendengarkan musik raggae ataupun instrumental beethoven, dan yang hasilnya menjadi sangat jauh berbeda hasil yang dihasilkan.

Dan cerita panjang ini pun akan ditutup dengan do'a,  rabbana atina fiddunya hasanah wafil'akhiroti hasanah wakina azabanar.

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 3 April 2011 pukul 10:58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;