“Rambut adalah sebuah mahkota bagi wanita”.
Entah mahkota apa, dan seperti apa, dan mau diapakan itu mahkota saya juga tidak tahu dan tidak paham jelas maksud dari kalimat tersebut. Entah dari siapa dan sejak kapan kalimat tersebut mencuat dan menjadi motto hidup kaum wanita, saya juga tidak tahu. Yang pasti, rambut gondrong adalah sebuah fenomena unik, terkhusus bagi pribadi saya sendiri.
Dari kalimat itu juga, terbentuk sebuah asumsi bahwa yang berhak dan pantas berambut gondrong hanyalah kaum wanita, dan kaum pria haram hukumnya untuk berambut gondrong. Cukup menggelikan dan sekaligus sedikit merepotkan untuk asumsi tersebut, karna asumsi tersebut ternyata dianut sedemikian taat oleh keluarga saya, bahkan keluarga besar. Memang menurut penuturan Aria Wiratma Yudhistira dalam bukunya yang berjudul “Dilarang Gondrong”, pada masa Orde Baru ada kebijakan yang melarang para pemuda untuk berambut gondrong. Entah apa dasar awal Soeharto membuat kebijakan tersebut , dan entah apa juga kecurigaan yang ada di otak Soeharto pada saat itu yang kemudian dari kecurigaan itu muncul semacam keterdesakan di dalam diri Soeharto yang menjadikannya membuat kebijkan tersebut, itu masih misteri. Sudah barang tentu ayah saya adalah seseorang yang lahir dan tumbuh berkembang pada masa Orde Baru, otomatis dia termasuk produk Orba yang bercirikan militer. Belum lagi dengan basic kakek saya yang seorang Militer, maka mau tak mau paham Dilarang Gondrong produk Orba menjadi semacam kewajiban untuk dianut oleh ayah saya. Kesimpulan tersebut saya hasilkan setelah cukup banyak berdebat tentang rambut gondrong dengan ayah saya.
Otomatsi, dengan paham Dilarang Gondron produk Orba itu, saya selaku anak dari ayah saya yang dididik dan tumbuh berkembang pada masa Orba termanifestasilah semacam larangan untuk berambut gondrong kepada saya dari ayah saya. Padahal, jika dipikir sehat, apa salahnya berambut gondrong? Sehina itukah yang berambut gondrong sehingga dilarang? Saya rasa tidak. Setahu saya agama tak mengatur perihal rambut di kepala. Tak ada ayat-ayat Qur’an dan Hadist yang melarang berambut gondrong. Boleh cek satu-persatu. Yang diwajibkan adalah berpenamlilan rapih. Pertanyaan yang muncul adalah tidak rapihkah yang berambut gondrong? Saya rasa tidak. Menjadi semacam hal menggelikan ketika gaya rambut menjadi patokan standar sebuah kerapihan seseorang. Seperti patokan berpakaian rapih adalah dengan selalu menggunakan kemeja dengan celana bahan yang kemejanya selalu dimasukan kedalam celana. Paham berpakaian rapih ini masih banyak dianut oleh guru-guru dan dosen-dosen dimana pun itu, baik di Indonesia tercinta maupun di Dunia. Menjadi hal yang lucu sekaligus aneh perihal standar kerapihan berpakaian tersebut. Bagaimana tidak, kita hidup di Indonesia yang beriklim tropis yang cuacanya cenderung panas dituntut untuk berpakaian yang katanya rapih tersebut. Tidakkah terasa gerah dengan gaya berpakaian seperti itu? Tidakkah terasa panas berpakaian seperti itu? Entahlah saya tidak tahu, tanyakan kepada mereka yang bergaya pakaian seperti itu.
Kembali kepermasalahan perihal berambut gondrong yang dilarang ayah saya. Ketika saya bertanya kepada ayah saya kenapa sebigitu tidak sukanya beliau melihat anaknya berambut gondrong, beliau menjawab sederhana bahwa sangat tidak cocok dan terlihat kumuh ketika saya berambut gondrong. Dan ketika saya lontarkan pertanyaan kembali yaitu sekumuh orang gilakah? Beliau diam dan tak bisa menjawab. Entah mungkin ayah saya belum menghafal sehingga tidak bisa menjawab pertanyaan saya yang kedua atau mungkin ayah saya salah menghafal sehingga tidak bisa menjwab pertanyaan saya yang kedua, saya juga tidak tahu. Tanya saja langsung kepada beliau jika kebetulan bertemu di jalan atau berpapasan dimana saja.
Kemudian saya juga menanyakan sebuah pertanyaan kepada ayah saya, yang mungkin beliau juga lupa akan pertanyaan saya ini. Saya pernah menanyakan kepada beliau bahwa pentaskah seorang polisi atau tentara berambut gondrong? Beliau tidak menjawab hanya tersenyum sinis, yang kemudian itu saya artikan sebagai jawabannya yang berarti tidak pantas. Kemudian saya kembali bertanya, pantaskah seorang anak yang berkuliah di sebuah fakultas yang berlabel sastra yang mengambil prodi ilmu sejarah yang kelak akan berkutat akan kesejarahan dan kebudayaan berambut cepak ala polisi atau tentara? Beliau sontak menjawab pantas-pantas saja, karna menurutnya tidak ada salahnya seorang sastrawan, sejarawan, atau budayawan berambut cepak ala polisi atau tentara. Kemudian saya juga berkata kepada beliau bahwa polisi dan tentara juga pantas-pantas saja berambut gondrong karna tidak ada salahnya juga untuk polisi atau tentara berambut gondrong. Beliau diam dan pergi begitu saja. Saya anggap diam dan kepergiannya itu sebagai kekalahan.
Apa salahnya berambut gondrong dan apa hinanya berambut gondrong? Saya rasa tidak ada jawaban untuk kedua pertanyaan itu, kecuali ada asumsi lain yang bersifat individu dari sesorang perihal rambut gondrong. Saya juga berencana akan memberikan tulisan ini kepada ayah saya perihal kebijakannya yang sangat mustahil dan tidak kuat argumentasi. Tujuan tulisan ini adalah membuat ayah saya sadar bahwa sedikit-banyak asumsinya terhadap rambut gondrong adalah pengaruh Orba yang terhitung telah 13 tahun berlalu. Dan juga jika saya memiliki sedikit rejeki saya akan membelikan buku dari Aria Wiratma Yudhistira yang berjudul “Dilarang Gondrong” untuk beliau baca. Buku tersebut menjelaskan bagaimana propaganda yang dibuat Soeharto untuk membuat diam rakyatnya agar patuh dan tunduk kepadanya agar tidak memberontak pemerintahannya untuk melanggengkan otoritasnya melalui sebuah kebijakan yang lucu, yaitu melarang berambut gondrong.
Tulisan ini juga bukan bermaksud untuk saya sebagai anak melawan kepada ayah sebagai orangtua, tapi bermaksud untuk saya sebagai anak berusaha mengajak berfikir logis dan tidak egois kepada ayah sebagai orang tua.
oleh Azmil R. Noel Hakim pada 1 Desember 2011 pukul 19:49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar