Ada semacam kegelisahan yang muncul di dalam diri ini. Entahlah, saya sendiri pun tidak tahu, entah berawal dari pikiran atau nurani yang memulai. Yang pastinya, kegelisahan ini membuat diri takut, lupa dan ciut akan apa pun. Sering saya dengar satu kalimat bijak yang entah berasal dari siapa, sejak kapan dan dari mana kalimat itu brasal. Yang pasti kalimat bijak ini selalu ampuh untuk membuat diam orang bodoh yang terus bertingkah "sok tahu" atau membuat diam tingkah orang yang "sok baik". Kalimatnya pun cukup bijak dan memiliki makna yang dalam. Kesimpulan saya bahwa orang-orang yang langsung terdiam ketika mendengar kalimat bijak ini adalah mereka tidak mengerti, sama seperti saya. Kalimatnya adalah "Hidup memang tragedi, tapi komedi bagi mereka yang berfikir". Kalimat yang sangat bagus, terkandung sebuah makna yang luarbiasa di dalamnya. Tapi satu kekurangannya, apa maksud dan pada siapa kalimat itu ditujukan? Seperti apa standar orang yang tidak berfikir yang dimaksudkan kalimat tersebut juga tidak jelas. Tragedi dan komedi yang dimaksud pun seperti apa, sangat kabur dan tidak jelas. Tapi ketika mendengar kalimat tersebut, kita solah-olah bangkit dibuatnya, tidak lagi berkkeluh kesah, seakan-akan tersindir oleh kalimat tersebut yang menyatakan bahwa kita itu orang yang tidak berfikir. Ah, pusing. Biarkan urusan apa maksud kalimat tersebut, kepada siapa kalimat tersebut dituju, dan makna tragedi dan komedi dalam kalimat tersebut menjadi urusan para filsuf atau tidak para sastrawan.
Akibat dari kegelisahan yang muncul tersebut adalah apa-apa yang ada di depan mata semisal peluang, kesempatan dan lain hal dibuatnya saya menjadi takut untuk menghadapinya. Peluang, kesempatan dan hal lainnya yang akan membuat saya berkembang, tak bisa untuk dicapai. Akibat dari kegelisahan tersebut. Jiwa ini takut dibuatnya, nyali menciut, melebur dan lalu menguap, setelah itu hilang, hilang dibawa angin, entah ke Laut Timur atau Laut Selatan yang pasti hilang dan lenyap.
Jika menulis itu dapat diibaratkan seperti makan dan minum, maka seharusnya saat sekarang ini saya sudah mati dan penyebab kematiannya adalah kelaparan dan kehausan. Makan dan minum adalah sebuah kegiatan pokok untuk menunjang kita hidup setiap detiknya. Jika kita tidak makan dan tidak minum maka raga akan lemah, semua anggota badan bergetar, aliran darah terhambat, dan lama kelamaan kita akan mati. Makan dan minum itu adalah suatu penunjang hidup, tetapi hanya menunjang raga saja. Sedangkan kita hidup tidak hanya cukup melalu raga saja. Hidup itu adalah dengan raga dan jiwa. Lantas, ketika makan dan minum adalah hanya menunjang raga lalu bagaimana dengan jiwa? Makan dan minumnya jiwa adalah dengan beribadah, mendekatkan diri kepada Yang Kuasa, bersembah diri kepadaNya, menyembahNya, mengikuti semua perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Konon, kata para pemuka agama bahwa dengan kita seperti itu adalah makan dan minumnya jiwa.
Jiwa dan raga adalah dua komponen kehidupan dan kita dituntut untuk membuat keduanya seimbang, Jika tidak, kita akan kehilangan kontrol terhadap apapun. Ketika jiwa kita sehat tapi raga sakit-sakitan maka tinggal tunggu waktu saja kita dijemput oleh malaikat kematian. Dan ketika raga kita sehat tapi jiwa kita mati - karna tak diberi makan dan minum -, maka lebih baik ambil semacam bebesian lalu sematkan ke tangan dan banting-bantingkan ke kepala. Akan lebih bermanfaat nampaknya.
Mungkin kegelisahan itu muncul disebabkan oleh sudah lama saya tidak menulis dan terus berleha-leha dan berlenggang tak tahu diri. Belakangan ini, ada semacam kesalahan saya dalam belajar dan cara pandang saya kepada sebuah institusi tempat saya belajar. Tujuan utama saya belajar dan berada di institusi tempat saya belajar pun sudah melenceng dan lari menjauh entah kemana. Yang imbasnya adalah institusi tempat saya belajar pun menjadi semacam status untuk sebuah eksistensi pada lapisan sosial bukannya dijadikan sebagai motivasi belajar dan mendapatkan pengalaman.
Untung, sangat beruntunglah saya pada saat itu. Pada saat otak sedang berkelumat berperang antara yang ini dan yang itu. Tiba-tiba diri tersadangkan, tersadarkan oleh sebuah tepukan yang menepuk pundak. Oh, rupanya Malaikat yang menepuk saya, menepuk pundak sebelah kanan saya. Bukan hanya menepuk, tapi disitu malaikat mengingatkan saya, menceramahi saya dan kembali meluruskan apa yang salah yang telah saya lakukan. Saya kira malaikat tersebut ingin menncabut nyawa saya, ah rupanya tidak. Niat malaikat tersebut baik dan malah mengingatkan saya. Selama sepuluh menit empat puluh sembilan detik malaikat mengingatkan saya. Saya ingat betul, karna ketika malaikat berceramah, posisi saya tepat menghadap kepada jam dinding yang ada di kamar saya. Belum lama malaikat berhenti berceramah, kira-kira beberapa detik saja. Malaikat itu menghilang, menghilang dengan sekejap. Belum sempat saya berkenelan, bercerita dan juga belum sempat saya mengucapkan terimakasih, malaikat tersebut telah hilang, hilang dalam sekejap.
Jam dinding di kamar terus bergerak, tidak cepat dan juga tidak lambat.
Tulisan ini pun mungkin sebagai ucapan terimakasih kepada malaikat, yang pada saat itu tak sempat terucapkan. Kegelisahan hilang ketika malaikat telah memberikan ceramahnya. Selain sebagai ucapan terimakasih kepada malaikat, mungkin tulisan ini juga sebagai bentakan kepada diri sendiri, hinaan, cacian, cibiran kepada diri sendiri.
Demikianlah saya berbicara dengan diri saya sendiri. Bukan hanya berbicara, tapi mencaci diri sendiri, menghina, mencibir, dan membentak diri sendiri dalam tulisan ini.
03 November 2011, 01.51
oleh Azmil R. Noel Hakim pada 5 November 2011 pukul 15:00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar