Sabtu, 14 Januari 2012 0 komentar

Tentang Lima Detik Tak Sadarkan Diri

Kicauan jangkrik seiring dengan hembusan angin,
dimana pada saat itu bulan tepat berada diantara awan dengan genteng rumah.
(Badan lesu bersandar dipojokan dinding sambil menatap langit-langit kamar)

Terkaget, mata kemudian terbelangga, entah kenapa,
mematung duduk beberapa menit, menatap kekosongan.
(Kemudian apa yang menjadi fatamorgana beralih kepada dunia maya)

Pertengahan kamis diawal Desember dijumlah dengan seperempat pagi diawal Januari sama dengan
hening, kosong, kemudian diam dan lalu tak berarti apa-apa.
(Pohon bergerak dalam diam dan cahaya matahari masih belum bekerja)

Terbangun akibat kicauan burung,
waktu tepat berada dipertengahan antara 6 dan 12.
(Terketuknya pintu kamar, sontak kaget, tersadar dari latihan kematian)

Bergegas merapihkan rambut, cuci muka,
lalu bermanis manja kepada kaca.
(Tetesan air berjatuhan sisa memolas wajah)

Ini bukan masalah sempit antara dua tangan yang saling bergandengan,
atau hal bodoh tentang bertemunya bibir saja.
(Untuk siang yang menyerupai pagi, kicauan burung apa indahnya?)


Bercerita air kepada angin tentang bagaimana ia menguap................. Mahluk kumuh tersadar lesu, diselimuti tembok kamar.............. Detik diam tak tahu harus bagaimana............................"Lalu turun menjadi air kembali, di hempas oleh kamu" ujar air menggoda...............Tak berguna menjadi hebat, jika yang kecil kita lupakan............. Bertanya detik kepada tembok.............."Hidupmu sungguh Indah" berkata angin kepada air............... Lalu semuanya terkesima haru...................

SELESAI
12 Januari 2012
 
oleh Azmil R. Noel Hakim pada 12 Januari 2012 pukul 11:55
0 komentar

Menjelma dan Menjadi Indonesia

“…Lekas bangun dari tidur berkepanjangan, menyatakan mimpimu. Cuci muka biar terlihat segar, merapihkan wajahmu. Masih ada cara menjadi besar. Memudakan tuamu, menjelma dan menjadi Indonesia” .  (Menjadi Indonesia – Efek Rumah Kaca)

Kalimat diatas adalah penggalan lirik dari salah satu lagu Band Indie Indonesia. Band tersebut ialah Efek Rumah Kaca. Band Indie asal Jakarta yang terdiri dari tiga pria muda. ERK (singkatan dari Efek Rumah Kaca) dalam berbagai majalah music sering dikatakan adalah band yang politis dan peduli akan lingkungan social, terlihat dari penggalan-penggalan lirik dari tiap lagunya yang sering kali menggangkat tema-tema social dan juga tak kadang mengkritik realita anak muda Indonesia juga dinamika permusikan di Indonesia. Kita ambil dua contoh lagu mereka, Cinta Melulu dan Kenakalan Remaja Di Era Informatika. Jika diperhatikan, kedua lagu tersebut kental sekali akan kritikan dan cibiran kepada anak muda Indonesia dan permusikan yang sedang marak di Indonesia. Tetapi tulisan ini bukan untuk membahas dan mencermati dua lagu tersebut, akan tetapi membahas lagu ERK yang berjudul Menjadi Indonesia yang penggalan liriknya terlampir di atas.

Dari penggalan lirik diatas, ERK menggunakan kalimat pengandaian yang seolah-seolah sedang berbicara kepada mahluk hidup. Padahal yang sedang mereka bicarakan adalah bukan kepada mahluk hidup tapi kepada lembaga yang sering disebut Negara yaitu Negara kita tercinta, Indonesia.  “…Lekas bangun dari tidur berkepanjangan…”  kalimat ini jelas sekali ditujukan kepada Indonesia yang telah lama tertidur dan pasif dalam berkarya dan sudah lama tidak menunjukan eksistensi Indonesia itu sendiri sebagai Negara yang katanya berdaulat. Dimana kita perhatikan kerja Indonesia hanya merusak, mengedahkan tangan kepada Negara lain, padahal kekayaan yang dimiliki Indonesia itu sendiri berlimpahnya bukan main. Dipertegas kembali dengan penggalan lirik selanjutnya “…Masih banyak cara menjadi besar…”  Terlihat Indonesia cenderung pendek pikiran, mungkin lirik tersebut ditujukan kepada Pemerintahan yang memang berpikiran pendek dan pesimis akan mencari jalan untuk bagaimana membuat Indonesia besar, padahal cara dan jalan untuk besar itu sendiri masih banyak. Sebagaimana ungkapan pribahasa klasik yang berbunyi “Masih banyak jalan menuju Roma”  seperti itu pulalah poin atau goal dari lirik Masih banyak cara menjadi besar…”  yang dimaksudkan ERK 

Dipertegas dengan kalimat akhir yang sangat menggetarkan “…Menjelma dan Menjadi INDONESIA.”. Menjelma, kata analogi yang berartikan kita dituntut menjadi diri sendiri, jangan meniru tingkah yang lain. Karna memang jelas terlihat, dalam pengambilan kebijakan atau apapun itu Indonesia cenderung berpatokan kepada Negara lain. Padahal, Negara yang menjadi contoh itu pun belum tentu baik walaupun memang secara keseluruhan mereka bisa dikatakan sukses. Tapi yang patut digarisbawahi adalah perbedaan budaya dan iklim social, ini yang seringkali tidak dipertimbangkan. Semisal kita ambil contoh, ketika di Jakarta misalnya, ketika akan mulai dilancarkan angkutan public Busway yang konsepnya kita contoh dari Negara Colombia di Amerika Latin sana. Mungkin dalam beberapa minggu atau beberapa hari dari awal kebijakan itu diluncurkan terlihat berhasil, tapi belakangan, amburadul, berantakan dan jauh dari targetan awal. Maksud dari ERK adalah ingin berbicara bahwa kita tidak perlu mencontoh atau meniru konsep-konsep kebijakan dari Negara lain, jika itu memang berhasil dilaksanakan oleh Negara itu, belum tentu akan serupa berhasil jika diterapkan di Negara kita. Kita mulai belajar membuat konsepan dan kebijakan sendiri. Jika kita lihat cacatan sejarah. Jalan Tol Jagorawi  Negara kita yang membentang dari Jakarta hingga Bandung adalah jalan TOL pertama yang dibuat di Asia Tenggara dan itu menjadi contoh bagi Negara-negara di Asia Tenggara lainnya, semisal Thailand, Filipina dan lainya. Jelas terbukti Indonesia bisa mandiri dan bisa berkreasi sendiri, tapi untuk dewasa ini, itu sudah tidak terlihat atau dalam bahasa ERK sedang tertidur yang berkepanjangan.

Kita lihat pula lirik pertama dari lagu Menjadi Indonesia, Ada yang memar, kagum banggaku, malu membelenggu…” kalimat tersebut bisa kita artikan bahwa ERK merasakan bahwa rakyat Indonesia malu dengan mengibaratkan memar sebagai kekecewaan dari tindakan pemerintah terhadap pembuatan kebijakan. Kalimat kagum banggaku semakin memperkuat apa yang menjadikan kagum, tapi kagum itu menjadi sebuah benalu yang membelenggu membuat malu. Mari kita simak kalimat setelahnya “…ada yang mekar, serupa benalu, tak mau temanimu”  benalu yang membelenggu tersebut menjadi mekar seolah dirawat dan tak mau menemani apa pun yang ingin memperbaiki keadaan.

Bukan hanya kinerja pemerintahan yang dikritik oleh ERK dalam lagunya, tapi etika moral rakyat Indonesia pun dicermati oleh mereka. Rakyat Indonesia yang terkenal akan budaya timur yang ramah tamah, memasuki masa globalisasi dengan membentuk budaya hedonis pada masyarakat yang bisa membuat etika timur menjadi luntur telah terjadi dan menjadi pemandangan sehari-hari di Negara kita. “…ada yang hilang, ramah tamahmu, beda teraniaya”. Menjadi beda karna tidak turut masuk dalam euphoria pasar global dengan mempertahankan ramah tamah akan dianiaya oleh lingkungan yang katanya modern itu. Seperti orang akan lebih memuja tingkat social seseorang yang berorientasi pada perkembangan teknologi dibanding seseorang yang mencintai budaya dan sastra. Tragis memang, pemandangan yang terjadi di Negara kita, mengingat Negara kita kaya akan budaya bukan teknologi. Tapi kepada orang yang melestarikan budaya itu sendiri  hanya mendapat cibiran dan menganiaya mereka yang melestarikan budaya. Tragis, sedih dan kesal campuraduk menjadi satu.

Dilanjutkan dengan lirik “…ada yang tumbuh, iri dengkimu, cinta pergi kemana?”  ERK ingin mempertanyakan sebuah kepergian rasa persatuan diantara rakyat Indonesia yang saling membunuh hanya untuk memperebutkan jabatan saja. Orientasi pragmatis telah beredar dan mengakar bukan hanya pada pemerintahan saja tapi sudah merambat ke kalangan para tenaga pendidik. Dimana guru atau tenaga pendidik hanya memikirkan sertifikasi dan tunjangan gaji dengan tidak memperdulikan anak didiknya. Jangan salahkan jika banyak dari rakyat Indonesia yang tidak bermoral dan kurang ajar. Tapi salahkan pola pendidikan yang sudah terjamah dan terseret arus pragmatisme.

Mungkin tulisan ini hanya sebagai kepanjangan-tangan dari apa yang ingin disampaikan teman-teman Efek Rumah Kaca dalam karya mereka yang berjudul Menjadi Indonesia. Bukan bermaksud mencaci atau menghakimi, hanya berpendapat sesuai realita yang sebelumnya telah direkam oleh teman-teman Efek Rumah Kaca dalam karya mereka. Semoga tetap bisa menjadi Indonesia dan menjelma menjadi Indonesia yang benar-benar hidup dengan hidup sehidup hidupnya. Semoga!!

Selesai.
09 Januari 2012


Efek Rumah Kaca – Menjadi Indonesia

Ada yang memar, kagum banggaku, malu membelenggu.
Ada yang mekar, serupa benalu, tak mau temanimu.

Lekas, bangun tidur berkepanjangan, menyatakan mimpimu,
cuci muka biar terlihat segar, merapikan wajahmu,
masih ada cara menjadi besar.

Ada yang runtuh, tamah ramahmu, beda teraniaya.
Ada yang tumbuh, iri dengkimu, cinta pergi kemana?

Memudakan tuamu, menjelma dan menjadi Indonesia.


 
oleh Azmil R. Noel Hakim pada 8 Januari 2012 pukul 22:42
0 komentar

Di Perempatan Jalan

Ada yang ingin disampaikan daun tentang apa yang disebut kekecewaan,
dengan diamnya pohon sebagai pertanyaan.
Ada yang ingin dituliskan langit tentang apa yang disebut kegembiraan,
dengan tetesan hujan sebagai paragraf pertama.
Butiran debu menjadi bedak untuk genteng-genteng rumah,
burung mengejawantahkannya sebagai permainan.
Gesekan antara jutaan anak angin dengan jutaan penderitaan anak jalanan
adalah alunan gitar terindah yang dicipta alam.
Jatuhnya tetesan keringat diatas aspal sama dengan kelucuan,
dengan tembok jalan sebagai komedinya.
Gelapnya langit ditutup jas hujan malaikat adalah sebuah sinetron,
dengan kelabu sebagai protagonis.
Nyanyian-nyanyian yang muncul dari pintu angkutan umum adalah sebuah harapan,
dengan rambut lusuh sebagai mimpinya.
Lamunan kecil di pinggir persimpangan jalan adalah sebuah panorama,
dengan lelahnya lampu merah sebagai keindahan.
Kumpulan receh yang ada di tangan mungil adalah sebuah kebahagiaan,
dengan wajah memelas sebagai kerja keras.
Tuhan turun kesana dalam beberapa menit,
dengan hembusan gerimis sebagai lambaianNya.
31 Desember 2011
oleh Azmil R. Noel Hakim pada 31 Desember 2011 pukul 22:27
0 komentar

Sebuah Dunia; Chitaloka

Diceritakan bahwa sebatang ranting dapat berbicara juga daun-daun di tempat itu. Kehidupan hanya diisi oleh dedaunan, bunga-bunga, awan, pepohonan, dan hewan-hewan kecil sejenis serangga saja, semisal jangkrik, kumbang dan saudara-saudara mereka lainnya. Tidak ada manusia, tidak ada iblis dan malaikat pun tidak ada. Dunia tersebut Tuhan ciptakan sebagai rasa kecewa Dia terhadap mahluknya yang sempurna yang bernama manusia.Tuhan sengaja tak memberitakan adanya dunia damai ini yang ditulis di surat-surat dalam kitab suci kepada manusia, takut-takut manusia merusak kedamaian dunia ini.

Dunia yang Tuhan beri nama Chitaloka. Tuhan sembarang memberi nama Dunia ini. Tak pentinglah sebuah nama, yang penting Dunia ini damai. Di dunia ini tempat Tuhan untuk tersenyum. Tuhan sengaja diam-diam tak memberitahu malaikat. Biarkan malaikat tetap memantau manusia yang picik. Di Dunia ini daun bisa leluasa menari, ranting bisa bernyanyi, tak takut untuk dipetik dan lalu patah. Di Dunia ini kumbang bisa setiap hari membagi kasih kepada bunga, kepada kupu-kupu. Itu sebenarnya yang Tuhan ingin lihat. Bukan pembunuhan, pembantaian, apalagi korupsi.

Ukuran Chitaloka tak begitu besar, hanya sebesar pergelangan jari manusia. Sengaja Tuhan buat kecil ukurannya, agar tidak diketahui oleh manusia, malaikat dan iblis. Yang manusia kenal sebagai senja adalah sebuah waktu dimana saatnya para serangga bekerja. Yang manusia kenal sebagai keindahan adalah pasir bagi mereka, karna terlalu banyaknya keindahan disana. Kejahatan adalah sebuah ketidaktahuan yang sengaja Tuhan tidak perkenalkan kepada mahluk-mahluk di Chitaloka. Tuhan juga sengaja hanya memberi nurani kepada mahluk-mahluk di Chitaloka, tidak memberi akal, takut-takut seperti manusia kelak.

Di Chitaloka tidak mengenal Republik, tidak mengenal Kerajaan, tidak mengenal Negara, Tuhan segaja, Dia ingin Dia sendiri yang langsung memimpin Chitaloka. Mimpi adalah apa yang disebut pekerjaan bagi mahluk-mahluk di Chitaloka. Cinta adalah buku,adalah pena, adalah kamera, adalah alat bagi mahluk-mahluk di Chitaloka untuk bekerja. Dan Kebahagiaan di Chilaloka adalah apa yang manusia kenal sebagai uang.

Cerita ranting yang berbincang dengan daun pada saat itu adalah tentang kasih sayang. Kasih sayang adalah semacam koran, majalah atau berita yang biasa manusia bicarakan tiap pagi. Tapi pagi di Chitaloka adalah dimana cahaya masih hanya seukuran padi. Tuhan sengaja tidak menciptakan Matahari, Tuhan tidak ingin membuat mahluk-mahkluk di Chitaloka menderita kepanasan. Tuhan hanya menyinari Chitaloka dengan cahaya yang hanya bersinar 5 jam saja.

Siang di Chitaloka berlangsung selama setengah dari satu jam, lalu sisanya adalah pagi dan senja. Malam tidak ada. Tuhan tidak ingin mahluk-mahluk di Chitaloka lama beristirahat. Tuhan hanya ingin bermain dan terenyum terus menerus bersama mahluk-mahluk di Chitaloka. Otomatis hanya setengah dari satu jam jatah mahluk-mahluk di Chitaloka beristirahat.

Kekerasan, penderitaan dan pertikaian adalah seperti alien bagi mahluk di Chitaloka. Tahu tapi tidak pernah melihatnya. Hanya sebuah pengetahuan saja. Seketika Tuhan teringat kepada mahluknya yang sempuna. Dia biarkan dulu sejenak dan tinggalkan Chitaloka untuk memantau manusia. Rupanya masih belum berubah, malah banyak yang merusak dan tidak percaya akan keberadaanNya.

Berbisik Tuhan pada malaikat. Entah apa yang dibisikan, entah apa yang diperintahankan, hanya Tuhan yang tahu dan tentunya malaikat. Kembali Tuhan menyaksikan Dunia yang bernama Chitaloka itu. Ranting, daun, kupu-kupu, kumbang, pohon, awan dan semua di Chitaloka sedang tersenyum dan hanya tersenyum dan tersenyum. Tuhan bahagia, Tuhan selalu Bahagia, hanya saja terkadang murka, itu pun karena mahluknya yang konon sempurna yaitu manusia, penyebabnya.

Kepada ranting Tuhan memandang, kepada kumbang Tuhan membelai, kepada daun Tuhan menggoda nakal. Indah yang tak Tuhan dapat di Dunia yang bernama Bumi berserakan di Chitaloka..



23 Desember 2011
 
oleh Azmil R. Noel Hakim pada 23 Desember 2011 pukul 0:13
0 komentar

Bahagia, Kemarin, Cahaya dan Dunia

Dunia adalah serpihan dari bubuk kopi, teh, gula, garam dan asam yang bergumul menjadi satu.

Dari pagi kepada senja untuk siang yang diasingkan malam.

Wahai kelam yang tak kunjung kelabu...

Cahaya adalah air kencing malaikat yang diintip iblis di kahyangan.

Dari titik kepada detik untuk pelik yang dihinakan mistik.

Awan tersipu oleh kertas dari sudut menjadi serabut.

Kemarin adalah daun yang berucap tentang cinta kepada ranting.

Dari pelit kepada rumit untuk sulit yang dibahagiakan peluit.

Belokan menjadi surga untuk kita kelak..

Bahagia adalah senyum yang terlempar hanya untuk diri seorang.

Dari letih kepada perih untuk lirih yang menjadikannya sedih.

Sulit dilupakan serabut otak dimakan pikiran untuk kenangan.

21 Desember 2011

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 21 Desember 2011 pukul 20:40

0 komentar

Kelak Kenangan

Yang akan kita kenang kelak adalah ketika titik di kelokan itu.

Dengan danau kumuh, lalu lalangnya pemuda-pemudi, dan panasnya kota itu.

Yang akan kamu kenang kelak adalah ketika kamu berkeliling hanya untuk mencari gelandangan lusuh.

Dengan kamu yang berkeringat, lelah dan gerah karna panasnya kota itu.

Yang akan kamu kenang kelak adalah ketika kamu berhasil menumukan gelandangan lusuh itu.

Dengan kesalnya kamu, muaknya kamu, dan marahnya kamu karna lelah berkeliling.

Kandang aku berpikir,

keterdesakkan apa yang mendorong kamu untuk melakukan hal yang melelahkan itu semua..

Dan yang aku kenang kelak adalah ketika melihat kamu disudut jalan itu.

Dengan senyumanmu, dengan keringat diwajahmu, dan dengan kesederhanaan yang tersemat dalam dirimu.

Terimakasih atas beberapa menit di kota yang panas itu.

Terimakasih atas kesudiannya untuk bertemu..

Selesai

Jatinangor, 15 Desember 2011

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 15 Desember 2011 pukul 15:54

0 komentar

Keterkaitan Budaya Terhadap Sejarah

Oleh : Azmil R. Noel Hakim

Latarbelakang

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita tidak akan pernah lepas dengan Budaya. Kaitan Budaya dalam kehidupan sehari-hari kita sangat erat. Bagaimana cara kita bertuturkata, bagaimana cara kita bersosialisasi, dan bagaimana cara kita bekerja adalah dipengaruhi besar oleh Budaya. Seperti contoh, cara bertuturkata orang Sunda dengan orang Melayu akan sangat berbeda, bagaimana intonasi orang Sunda dan orang Melayu sangat jauh berbeda yang disebabkan oleh perbedaan budaya itu sendiri.

Makalah ini pun bukan akan membahas perihal perbandingan Sejarah dengan Budaya. Tapi, penulis dalam makalah ini mencoba membahas bagaimana Budaya sangat berpengaruh dalam unsur-unsur kesejarahan. Seperti Budaya menjadi salah satu kekuatan dalam Sejarah dan juga pengaruh Budaya dalam Penulisan Sejarah (Historiografi) (Kontowijoyo,2005:138,38).

Penulis pun dalam tulisan ini akan menjelaskan perihal apa yang akan penulis lakukan kelak jika telah selesai menempuh studi Ilmu Sejarah. Mungkin bagi sebagian orang mempelajari Sejarah itu membosankan apalagi Budaya, jika dibandingkan dengan Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Sastra. Dengan kurangnya minat akan Sejarah membuat sebagian atau bahkan kebanyakan orang bosan belajar Sejarah. Orang lebih memilih dan berminat pada Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Sastra dibandingkan Sejarah karna Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Sastra cenderung mengkaji hal-hal yang bersifat kontemporer sedangkan Sejarah adalah ilmu yang mengkaji masa lampau, seperti  yang dijelaskan dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah yang ditulis oleh Prof. Kuntowijoyo. Demikian pula bahwa Sejarah itu bukan Sastra. Walaupun kebanyakan prodi Ilmu Sejarah sering terdapat dalam Faklutas Sastra di berbagai Universitas, contohnya Universitas Padjadjaran. Sejarah itu berada di pertengahan antara Ilmu Sosial dengan Ilmu Sastra seperti yang dijelaskan oleh Prof. Nina H. Lubis dalam salah satu pertemuan kuliah. Ada tiga macam perbedaan Sejarah dengan Sastra antara lain dalam cara kerja, dalam kebenarannya, dalam hasil dan dalam kesimpulan (Kuntowijoyo, 2005:11). Jelas mengapa Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Sastra lebih diminati dibandingkan dengan Sejarah.

Seorang Sejarawan selain berkutat dengan masa lalu juga berperan sebagai pengawal dari Warisan Budaya yang terdapat disekitarnya dan juga sebagai penafsir dari perkembangan manusia (Gottschalk, 2008:26). Kelak penulis setelah selesai belajar dalam prodi Ilmu Sejarah, penulis akan mendatangi satu persatu Desa-Desa yang ada di Indonesia mulai dari Sabang hingga Merauke. Penulis ingin melihat peninggalan-peninggalan Sejarah yang tersisa dari tiap desanya dan menyaksikan langsung Budaya dari tiap Desa. Penulis ingin mendatangi tempat-tempat sejarah yang ada di tiap desa, seperti di Aceh tempat yang dulu pernah berdiri Kerajaan Islam pertama yaitu Kerajaan Samudra Pasai dan seperti di Yogyakarta, mengunjungi Kraton-Kraton yang pernah dijadikan Istana Kerajaan atau Kesultanan yang ada di Jawa.

Penulis ingin merasakan langsung bagaimana Budaya sebagai Kekuatan Sejarah yang berada di tiap-tiap Desa atau Provinsi di Indonesia. Selain penulis tergerak untuk melihat secara langsung bagaimana Budaya menjadi Kekuatan Sejarah, adalah Etnis dan Ras yang terdapat di Indonesia yang dengan keragamannya menjadi salah satu Kekuatan Sejarah pula (Kuntowijoyo, 2005:136), yang menjadikan Sejarah Indonesia itu sendiri menjadi kaya dan beragam.

Penulis setelah lulus dalam menempuh studi Ilmu Sejarah sangat berharap bisa menjadi seorang peneliti, baik meneliti Sejarah itu sendiri maupun Budaya. Penulis pun selain berharap menjadi seorang Sejarawan, berharap juga bisa menjadi seorang Budayawan. Karna Insyaallah kelak penulis akan mengambil pengutamaan Sejarah Budaya

Rumusan Masalah

Terdapat beberapa masalah yang kemudian bisa disalahartikan akibat ketidakjelasaan dari apa yang dimaksud dari Sejarah itu sendiri dan juga dengan apa yang dimaksud dengan Budaya itu sendiri. Ada semacam paradigma yang muncul tanpa penalaran terlebih dahulu. Semisal paradigma yang muncul adalah seolah-olah Sejarah dengan Budaya itu adalah sesuatu hal yang bertololak belakang. Padahal jika kita perhatikan banyak pula para Sejarawan yang juga adalah seorang Budayawan, atau bahkan sebaliknya. Oleh karna itu penulis akan mencoba menjelaskan terlebih dahulu pengertian Sejarah dan pengertian Budaya. Kemudian penulis akan mencoba menjelaskan bagaimana Budaya mempengaruhi Gerak-Gerak Sejarah yang kemudian menjadikannya sebagai salah satu Kekuatan Sejarah. Dan pula, implikasi dari budaya itu sendiri yang kemudian menciptakan berbagai keragaman khas dari tiap Desa, yaitu Ras dan Etnis. Yang kemudian oleh Prof. Kuntowijoyo dalam bukunya dikategorikan menjadi kekuatan sejarah juga (Kuntowijoyo, 2005:136).

Tujuan Penulisan

            Tujuan Penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas akhir matakuliah Dasar-Dasar Ilmu Sejarah. Selain daripada itu juga, penulis berharap makalah ini pun dapat berguna dikemudian kelak, baik untuk penulis secara pribadi atau orang-orang terdekat penulis secara umum.

Keterkaitan Budaya terhadap Sejarah

Sebelum menjelaskan lebih dalam bagaimana peran Budaya terhadap Sejarah dan bagaiman keterkaitan Budaya terhadap Sejarah. Penulis akan mencoba menjelaskan terlebih dahulu pengertian Sejarah dan Budaya itu sendiri. Lalu bagaimana Budaya, Etnis dan Ras menjadi bagian dari Kekuatan Sejarah.

Pengertian Sejarah

Sejarah adalah sebuah Rekonstruksi Masa Lalu (Kuntowijoyo, 2005:17). Prof. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa Sejarah adalah bukan membahas masa lalu untuk kepentingan masa lalu itu sendiri. Tapi, menurut Sejarah adalah sebuah peristiwa yang telah lalu yang kemudian direkonstruksi oleh Sejarawan untuk kepentingan masa kini dan masa depan. Sering kita mendengar istilah “We Look back to Go A Head”, seperti itu pula lah yang dimaksudkan oleh Prof. Kuntowijoyo.

Dalam bukunya juga, Prof. Kuntowijoyo menjelaskan bagaimana cara sejarawan bekerja dan harus seperti apa sejarawan merekonstruksikan masa lalu itu sendiri.

Sejarah juga dalam bahasa inggris yaitu history dan dalam bahasa arab syajaratun, yang kemudian diartikan menjadi sebuah peristiwa masa lampau (Gottschalk.2008:33). Dalam salah satu perkuliahan yang dipaparkan oleh Prof. Nina H. Lubis, beliau menyatakan bahwa Sejarah adalah yang terjadi pada masa lalu manusia yang menyiratkan adanya perubahan atau Gerak Sejarah. Prof. Nina H. Lubis juga membagi sejarah dalam 3 bagian, yaitu Sejarah sebagai Ilmu, Sejarah sebagai Peristiwa dan Sejarah sebagai Kisah. Sejarah sebagai Ilmu adalah Sejarah yang dipelajari sesuai kaidah Pendidikan. Sejarah sebagai Peristiwa adalah Sejarah secara objektif, dan Sejarah sebagai Kisah adalah Sejarah secara subjektif. Pengertian bahwa Sejarah dibagi kedalam tiga bagian juga dijelaskan oleh R. Moh. Ali dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah (Ali.1963:8).

Prof. Kuntowijoyo juga menyatakan bahwa Sejarah adalah Ilmu tentang sesuatu, terperinci dan satu-satunya (Kuntowijoyo. 2005:16). Istilah yang menyatakan bahwa Sejarah berulang adalah apa yang Prof. Kuntowijoyo maksudkan dengan Ilmu tentang sesuatu, terperinci, dan satu-satunya. Yang berulang itu adalah pola-pola dari peristiwa masa lalu yang serupa dengan peristiwa yang sedang terjadi. Sejarah juga adalah ilmu yang mempelajari tentang perkembangan dan Sejarah pula adalah ilmu tentang manusia dan waktu (Kuntowijoyo. 2005:28,12,13).

Pengertian Budaya

Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat manusia yang tertata dalam sebuah kelompok masyarakat, yang kemudian dari konsep tersebut diturunkan dari generasi ke generasi. Konsep tentang Budaya pula mencakup kedalam banyak hal yaitu pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, waktu, peranan, ruang, alam semesta, dan materi (Mulyana,Rakhmat.2003:18).

Budaya juga adalah sebuah peradaban yang mengandung pengertian luas yang meliputi pemahaman, perasaan, pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari masyarakat (Taylor.1897,dalam Sulaeman.1995:10).

Jadi, singkatnya adalah menurut pemahaman penulis bahwa Budaya atau Kebudayaan itu adalah sebuah kebiasaan khas dari suatu kelompok masyarakat yang berkembang secara lama yang kemudian menghasilkan sebuah peradaban yang akan menjadi ciri khas dari sekelompok masyarakat tersebut yang kemudian membentuk sebuah Suku, Bangsa, Etnis atau Ras.

Tetapi, dewasa ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan para filsuf kebudayaan perihal istilah “kebudayaan” dan “peradabaan” itu sendiri. Belum adanya kesepakatan defenitif tentang pengertian kedua istilah tersebut dari para filsuf kebudayaan (Kusumohamidjojo.2009:199). Pengertian kebudayaan itu sendiri sudah melebar dari pengertian sebenarnya dan telah mencakup pemahaman yang sudah sangat jauh melampaui konotasi pengerjaan tanah belaka (peradabaan), bahkan telah sampai mencakup kepada perilaku pada eksistensial manusia itu sendiri (Kusumohamidjojo.2009:200).

“Setiap orang terlibat dalam proses kebudayaan dan sampai tingkat tertentu menjadi subjek daripadanya. Sebaliknya tidak semua orang terlibat dalam proses peradaban”(Kusumohamidjojo.2009:200).

Dari kalimat diatas yang dikutip langsung dari buku Filsafat Kebudayaan ; Menuju Realisasi Manusia yang ditulis oleh Budiono Kusumohamidjojo. Bahwa Kusumohamidjojo ingin berkata bahwa peradaban itu cenderung sebuah generalisasi dari apa itu yang disebut dengan kebudayaan. Sebuah peradabaan hanyalah simpulan umum dari kebudayaan suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa. Seperti contoh, kebudayaan Bangsa Babylonia adalah salah satu peradaban dari Peradaban Mesopotamia. Dan Kusumohamidjojo berkesimpulan bahwa kebudayaan itu adalah gaya hidup dari sekelompok masyarakat yang segala perilaku yang dipelajari oleh setiap  individu terdapat didalamnya yang diharapkan oleh kelompok tersebut itu sendiri, terlepas kebududayaan itu primitif atau modern (Kusumohamidjojo.2009:201).

Budaya, Etnis dan Ras sebagai Kekuatan sejarah

Dalam salah satu pertemuan kuliah, Prof. Nina H. Lubis menerangkan bahwa Kekuatan Sejarah adalah sesuatu hal atau keadaan yang bisa menimbulkan Gerak Sejarah. Kemudian beliau pun menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Gerak Sejarah tersebut adalah hal/keadaan yang dapat mempengaruhi Sejarah itu sendiri.

Budaya sebagai Kekuatan Sejarah adalah bagaimana Budaya dapat menimbulkan gerak-gerak Sejarah yang mempengaruhi Sejarah itu sendiri. Seperti contoh, Sejarah Indonesia tidak dapat terlepas dari Budaya Belanda yang lama menjajah kita selama beberapa abad. Bangunan-bangunan yang dibuat oleh Kolonial Belanda di kota-kota besar Indonesia (Kuntowijoyo.2005:138) adalah bermaksud bahwa Kolonial Belanda ingin menunjukan bahwa mereka kuat dan berkuasa dan juga sebagai peringatan atau ancaman untuk kita Bangsa Indonesia pada saat itu untuk tidak berani mencoba untuk melawan dan menjatuhkan kekuasaan mereka.

Disana terlihat bahwa Belanda ingin mencoba menanamkan Budaya mereka ditempat dimana mereka menjajah suatu bangsa, mungkin akan ada berbagai komentar pro maupun kontra perihal apa yang dilakukan Belanda pada saat menjajah kita itu. Adalah telah menjadi suatu ciri khas dari sebuah sistem kolonialisasi bahwa doktrinisasi dan intimidasi terhadap yang dijajah memang selalu terjadi, apalagi semboyan Belanda dalam melakukan penjajahan adalah Glory, Gospel dan Golden, yaitu Kemenangan, Penyebaran Agama dan Kekayaan. Ketika pada masa Sekolah Menengah Atas Guru Sejarah penulis pernah menjelaskan bahwa sistem penjajahan Belanda adalah sistem Penjajahan terjijik dibandingkan dengan Inggris dan Prancis. Beliau menjelaskan bahwa Belanda hanya memikirkan keuntungan pribadi tidak seperti Inggris dan Prancis yang peduli akan kecerdasan bangsa yang dijajahnya.

Kemudian bagaimana Etnis dan Ras pun menjadi kekuatan sejarah yang dimana Etnis dan Ras tersebut bisa menimbulkan gerak-gerak yang turut berkontribusi kepada Sejarahnya kelak. Seperti beberapa Suku di Indonesia pada masa penjajahan mencoba memberontak kepada Kolonial, seperti di Tanah Batak pemberontakan yang dipimpin oleh Sisingamangaraja, juga di pemberontakan yang dilakukan di Tanah Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponogoro dan pemberontakan yang dilakukan di Tanah Minang yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Tiap Suku pada saat itu memberontak demi kepentingan Suku mereka bukan demi Indonesia. Karna konsep tentang  Kesatuan dan Persatuan Indonesia belum dikenal pada saat itu, sebutan Indonesia pun belum begitu sontar, maka kemudian sebelum kemerdekaan Nusantara adalah sebutan yang merujuk kepada apa yang sekarang disebut Indonesia saat ini.

Dengan keberagaman Suku dan Ras yang ada di Indonesia membuat Indonesia menjadi sangat kaya dalam bidang Kebudayaan. Tapi dari keberagamaan tersebut pula tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya SARA. Tapi kontribusi dan sumbangsih dari setiap Etnis dan Ras yang ada di Indonesia perlu diapresiasi (Kuntowijiyo.2005:137)

Keterkaitan Budaya dengan Sejarah

Dari uraian penjelasan diatas penulis mencoba menyimpulkan bahwa Budaya sangat erat ketertkaitannya dengan Sejarah. Makalah ini pun bukan bertujuan untuk membandingan antara Sejarah dengan Budaya. Tapi mencoba untuk menjelaskan bagaimana antara Sejarah dan Budaya adalah saring beriringan tidak bertolakbelakang atau bahkan saling mencacimaki.

Tidak ada suatu hal pun yang dapat lepas dari yang namanya Sejarah, jika hal tersebut tidak memiliki Sejarah patut dipertanyakanlah eksistensi keberadaan hal tersebut.

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Budaya adalah gaya hidup khas dari suatu masyarakat yang berlangsung secara lama dan diturunkan dari generasi ke generasi (Kusumohamidjojo.2009:201), dan Sejarah adalah suatu peristiwa masa lampau yang direkonstruksikan dalam sebuah tulisan atau media lainnya (Kuntowijoyo, 2005:17). Atau juga Sejarah adalah sebuah Peristiwa, Kisah dan Ilmu yang berbicara tentang masa lalu demi kebaikan masa kini atau masa yang akan datang (Ali.1963:8).

Penulis pun berpendapat bahwa dari berbagai definisi perihal Sejarah dan Budaya merujuk kepada suatu kesimpulan bahwa Sejarah dan Budaya itu salaing berkaitan satu sama lain, yang dimaksud berkaitan adalah ketika dimana kita mengkaji perihal Sejarah suatu pedesaan secara tidak langsung para Sejarawan mau tidak mau terjun, masuk dan berkelut kepada Budaya di pedesaan itu sendiri. Sebaliknya ketika seorang Budayawan akan mempelajari Budaya suatu Suku, Bangsa atau Etnis mereka pun pasti akan bergelut dengan Sejarah dari Suku, Bangsa atau Etnis yang akan dipelajarinya itu, jika memang suatu Suku, Bangsa dan Etnis tersebut telah ada Sejarahnya. Jika belum, maka para Budayawan akan menghubungi Sejarawan untuk meneliti Sejarah dari suatu Suku, Bangsa dan Etnis tersebut. Dan pada sisi ini terlihat bagaimana Sejarawan dan Budayawan dapat beriringan.

Cara berfikir sejarah yang plurikausal membuatnya bisa berguna bagi setiap aspek kehidupan dan setiap disiplin ilmu (Kuntowijiyo.2005). Begitu pula dengan Sejarah Penulisan Sejarah (Historiografi) yang sangat kental akan peran Budaya didalamnya. Dalam penulisan Sejarah, para Sejarawan pasti dipengaruhi oleh jiwa zamannya (Zeitgeist). Dimana yang dimaksudkan dalam jiwa zaman tersebut adalah dimana Budaya, perilaku dan kebiasaan yang sedang terjadi pada zaman tersebut melatarbelakangi penulisan sejarahnya. Seperti misal, dimana seorang Sejarawan Yunani dan Sejarawan Persia tidak akan sama dalam menuliskan perihal peperangan antar kedua bangsa tersebut (Kuntowijoyo.2005:35-57).

Maka jelas dari semua runtutan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Budaya sangat berperan terhadap Sejarah dan prosesnya. Sebaliknya, Sejarah pun sangat berperan besar terhadap Budaya sekitar. Walaupun memang diakui Sejarah adalah suatu Disiplin Ilmu yang plurikausal yaitu yang berpikir dengan banyak aspek yang menjadikannya diperlukan oleh setiap Disiplin Ilmu.

Kesimpulan

Merujuk pada penjelasan diatas. Jelas bahwa masih terdapat semacam paradigma awam yang berpendapat bahwa Sejarah itu tidak bisa mengkaji Budaya demikian pun sebaliknya. Paradigma tersebut acap kali menjadi penghalang bagi mereka yang berkutat dalam kedua aspek tersebut. Dimana ketika para Sejarawan mencoba mengkaji dan menjelaskan perihal yang berkaitan dengan kesejarahan dianggap tidak mampu dan akan berunjung pada sebuah kegagalan. Sangat tidak adil. Paradigma tersebut mengikis ruang untuk para Budayawan bekerja dan belajar akan ilmu yang mereka miliki.

Maka tergerak akan paradigma tersebut penulis terasa tertantang untuk mengkaji Budaya selain memfokuskan diri terhadap Sejarah itu sendiri. Pun, dengan latarbelakang keluarga yang mendukung penulis untuk bergelut dengan Sejarah dan juga latar belakang keluarga dengan Budaya yang berbeda menjadi semangat tersendiri bagi penulis. Dari perbedaan latarbelakang keluarga tersebutlah penulis dirasa patut dan harus mengkaji Budaya keluarga, guna mengetahui latarbelakang keluarga yang berbeda Budaya tersebut yang bisa bersatu dan bertahan lama hingga saat ini.

Keluarga ayah yang berasal dari Tanah Minang dari suku Pariaman dan Keluarga Ibu yang berasal dari Tanah Pasundan. Budaya Pariaman dan Sunda yang sangat jauh berbeda, mulai dari cara bertuturkata, intonasi dalam bertuturkata, cara pandang berfikir menjadikan penulis tak habis fikir dan takjub akan kekayaan Budaya yang dimilik Indonesia.

Kelak ketika penulis telah lulus dan selesai dalam menempuh studi Ilmu Sejarah. Terlebih dahulu penulis akan mempelajari kedua Budaya yang melatarbalkangi keluarga penulis, mempelajari sejarah kebudayaan dari keluarga untuk lebih meyakinkan penulis pada apa yang akan penulis perbuat kelak sebagai Sejarawan bahkan sebagai Budayawan.

Kajian perihal Sejarah Kebudayaan pun masih sangat jarang dikaji para Sejarawan. Untuk saat ini para Sejarawan lebih berminat mengkaji Politik ketimbang Budaya yang dianggap kompleks. Dengan mengkaji Budaya para Sejarawan dianggap akan memberi kontribusi bagi kebaikan bangsa dan kepentingan negara Indonesia untuk kedepannya (Kuntowijoyo.2003:133).

Perkembangan budaya di Dunia pun telah maju dengan pesat seiring dengan kemajuan teknologi itu sendiri. Jika zaman dulu di Indonesia pernikahan antarsuku/antarbudaya masih dianggap tabu. Berbeda dengan sekarang, pernikahan antarsuku/antarbudaya telah menjadi lumrah, bahkan pernikahan antarbangsa/antarbudaya yang berbeda negara pun telah menjadi hal yang biasa dan lumrah (Mulyana,Rakhmat.2003:239).

Terlihat jelas bahwa bukan suatu hal mustahil antara Sejarah dan Budaya untuk saling beriringan dalam bekerja, dan juga bagaimana besarnya kontribusi Budaya terhadap Sejarah itu sendiri. Paradigma awam yang muncul perihal antara Sejarah dan Budaya adalah sebuah paradigma prematur yang tanpa pengolahan nalar terlebih dahulu.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, R, Moh. 1965. Pengantar Ilmu Sedjarah. Jakarta: Bhrata.

Gottschalk, Louis. 2008. Mengerti Sejarah. Alihbahasa Nugroho Notosusanto. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: P.T. Tiara Wacana Yogya.

Kusumohamidjojo, Budiono. 2009. Filsafat Kebudayaan ; Proses Realisasi Manusia. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.

Mulyana, Deddy., Jalaludin Rakhmat. 2003. Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Rosda.

Sulaeman, M. Munandar. 1995. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: P.T. Eresco.

oleh Azmil R. Noel Hakim pada 14 Desember 2011 pukul 19:55

 
;